8: Semuanya ... Bohong?

1.8K 163 9
                                    

Buat Siders mohon diharapkan kasih jejak dong, enggak salah kan saya mintak voting?

Kalau kalian bilang, "cerita jelek juga enggak pantes dikasih voting" lalu kenapa kalian lihat dan baca cerita saya? :)
Kalau keberatan ngasih vote silakan tinggalkan cerita ini☺ saling menghargai itu lebih indahh,

Kebayang kan kalau kalian buat cerita tapi enggak ada yg ngasih apresiasi melalui vote pasti gimana rasanya?😊

Okedeehh happy reading!

***

Aroma khas Rumah sakit langsung memasuki indera penciumanku ketika mataku perlahan terbuka, jadi diriku sekarang berada di Rumah sakit? siapa yang membawaku ke sini? lagipula kenapa aku bisa ceroboh sekali.

Iya, saat aku meninggalkan rumah Arya tadi pandanganku menangkap kedai kopi yang berhasil mengunggah keinginanku untuk menyesap cappuccino dikala hati sedang dirundung kesedihan karena Arya. Disaat aku keluar dari mobil, mataku lurus memandang kedai tersebut tanpa menyadari jalanan ramai sehingga diriku diserempet motor yang melaju kencang. Tubuhku langsung terjatuh ke aspal, kurasakan siku kananku mengeluarkan darah dan rasa perih mulai terasa.

Kepalaku mendadak pusing karena sempat terbentur pintu mobilku sendiri dan akhirnya diriku tak sadarkan diri sampai aku berada di sini, masalahnya siapa yang membawaku ke sini? Warga kah?

"Alhamdulillah sudah sadar, Nak," suara Mamak mengejutkanku, kulihat beliau baru saja masuk ke ruangan IGD yang kutempati dan sepertinya tidak hanya beliau seorang diri melainkan ...

"Ya Allah, Di. kamu tuh kalau ngambek jangan dibiasain kabur-kaburan kayak tadi. Ini 'kan akibatnya," ini baru Reana yang protes belum laki-laki gondrong yang di sampingnya siap membuka mulut memarahiku, kita hitung mundur; tiga ... dua ...

"Ngakunya mau buat makalah eh ternyata ngambek sama Arya karena dikatain anak manja ckckckc, Di Di. Kamu tuh udah 19 tahun bentar lagi 20 masih aja hobi ngambek!" Tuh 'kan apa kubilang, A' Didit juga memarahiku! aku melengos pada mereka. Lagian kenapa mereka tahu kalau aku lagi marah--lebih tepatnya sakit hati--sama si kulkas berjalan itu.

Eh, tunggu ... kuedarkan pandangan pada sosok yang berdiri di samping Mamak. Sosok kulkas berjalan itu berdiri di sana? dia ada di sini, ngapain!! lalu mataku beralih menatap seorang gadis remaja berjilbab panjang di sampingnya. Akina? MaaSyaAllah aku sudah sebulan tidak bertemu dengannya.

"Dek Kinaaaaaaaa!!" teriakku tak peduli dengan impusan yang berada di punggung tanganku, kurentangkan tangan untuk menerima pelukannya. Akina berjalan dan masuk ke dalam pelukanku. Ya Allah, rindu sekali pada anak ini.

"Ayuk kangen sama Kina," ucapku sambil sesekali menghapus air mata yang mengalir tanpa permisi. Usapan dipunggungku dia berikan, begitu tenang. Kemudian dia melepaskan pelukan kami dan berbicara melalui bahasa isyarat yang kuartikan sebagai ungkapan bahwa dia juga merindukanku.

Wajah teduh nan manis itu mengukir senyumnya padaku. Dia adalah adik Arya, dia masih SMP kelas 3. Meski dirinya memiliki keterbatasan dalam pendengaran dan bicara tetapi dia adalah sosok yang istimewa, dia anak yang cerdas, dia sholeha, dia taat pada agama, dan dia juga yang mampu mengajak keluarganya perlahan menaati kewajiban-kewajiban sebagai seorang muslim. Kami bangga padanya, semangatnya dalam belajar patut diacungi jempol! Meski ada teman-teman yang menjauhinya namun semua itu tidak menjadi masalah baginya.

Kulihat Akina menulis sesuatu di atas sticky notes yang selalu menemaninya dan tulisannya berisi 'Maafin Bang Arya, ya, Yuk.' dia menunjukkannya padaku dengan wajah yang penuh permohonan lalu kembali kupeluk dirinya.

Luka dalam Prasangka ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang