Akhirnya kami kembali ke rumah setelah berada di perjalanan selama sejam dari LAPAS, ya aku dan Reana beserta Mama dan Dek Ina habis membesuk Papa. Pergi ke tempat Papa kali ini tanpa A' Didit karena cowok gondrong satu itu masih berada di Bandung. Arya? seperti biasa, si kulkas berjalan sedang latihan untuk manggung besok di hari-H pernikahan kakak Dhelia, jadilah kami hanya berempat dengan Mama yang menyopiri.
Mama memasukkan mobil ke garasi setelah kami turun dari mobil. Dek Ina sudah menguap menandakan tidurnya di jalan tadi belum cukup, apalagi karena sering terbentur di kaca mobil, maklum jalan di sana rusaknya parah, mana jauh.
Kurangkul bahunya dan dia bersandar didadaku sambil mengikuti langkahku, Reana terkekeh sambil sesekali menjahili hidung mancung---ke dalam---milik Dek Ina.
"A' Didit kapan pulang, Re?" tanyaku saat kami sudah sampai di sofa. Aku dan Reana mengambil posisi duduk sedangkan Dek Ina langsung membaringkan tubuhnya di sofa panjang dengan mata tertutup sempurna, fix anak ini telerr.
"Lah nanya gue, gue aja enggak tahu, Di."
Mama yang sudah kembali dari garasi mendekat dan membangunkan Dek Ina, "Radina Magfiroh! tidur di kamar sana. Kele saket gale badan kaba tuh," ucap Mama dengan campuran bahasa yang beliau gunakan.
"Ngantuk, Ma ...," rengeknya manja sambil beringsut turun dari sofa dan berpindah ke ambal.
"Heleehh, kaba neh," Mama mengambil posisi duduk di sofa single, menghidupkan TV melalui remote control lalu mencari tayangan favoritnya hingga masa kini, dan yaaaaa ... ini dia tayangan favorit Mama:
Variety show 'Katakan Lo, gue, End'
Meski setiap bulan cuma kurang lebih tiga hari tinggal sama Mama, aku paham betul kesukaan Mama.
"Mama kangen Arya deh. Coba telepon die tuh, disuruh Mama ke rumah katoke," ucap Mama sambil memfokuskan pandangan ke arah TV.
Orang tuaku seakan tahu perasaan anaknya. Tadi Papa yang menitipkan salam rindu buat Arya--karena sudah berapa kali mesuk beliau, Arya tidak ikut--dan sekarang Mama yang mengatakan rindu laki-laki itu. Sebenarnya aku juga merindukan dia, Ma, Pa---lebih tepatnya rindu sisi hangatnya---.
"Iya, Ma. Re sudah kirim WA sama dia." Reana yang melaksanakan titah Mama.
Tring ...
Suara ponsel Reana berbunyi, balasan Arya kah itu?
"Nah, selesai gladi bentar lagi dia ke sini, Ma." Ucapan Reana membuatku diam terpaku, beneran? dia bakal memenuhi permintaan Mama?
Formalitas, Inka!
Formalitas ya? Iya kayaknya, huuhhh ... semata-mata menghormati Mama. Pediiihhhhh hati hayati! tapi tidak apa-apa, dengan dia menghormati keluargaku saja aku tetap bersyukur.
Sembari menunggu kedatangan Arya, aku ikut tenggelam dengan tayangan favorit Mama, di mana si cewek sedang mengintai si cowok yang tengah makan berduaan dengan cewek lain. Tiba-tiba bel berbunyi---sepertinya Arya---Mama mengodeku untuk membukakan pintu, dengan perasaan dag dig dug aku berdiri dan berjalan seraya menyiapkan hati, kalau-kalau dia melontarkan makian tajam seperti biasanya.
Kubuka pintu dan mataku perlahan memindai penampilan laki-laki yang sudah berdiri menenteng sesuatu ditangan kanannya, dia memakai kemeja navy polos dan jeans hitam yang sengaja dia robek bagian lututnya. Gans maksimal! beneran deh.
"Mana Mama?" tanyanya datar.
"Dalam," jawabku singkat kemudian dia menyelonong masuk ke dalam. Kuperhatikan punggungnya dari belakang hingga dia menghilang dari ruang tamu. Kututup pintu dan menyusulnya ke dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka dalam Prasangka ✔
General Fiction[Fiksi umum-spiritual] Judul awal "I Dont Want You Know" berganti menjadi "Luka dalam Prasangka" *** Radinka Fatimah menyimpan rasa pada Arya namun rasanya itu terpaksa ia simpan karena sebuah janji yang diucapkan oleh laki-laki itu. Sebuah janji ya...