Sepulang sahabat-sahabat putranya itu dari rumahnya, Ela--Ibu Arya--duduk memijat pelipisnya, dia tak menyangka perbuatan sang anak mampu menyakiti hati seorang gadis. Melihat Radinka menangis tersedu-sedu tadi sungguh dia tak tega.Dia rasakan betapa sakitnya perasaan gadis itu. Pun kekecewaan yang tertangkap di mata Reana dan Didit.
Keterlaluan, sangat keterlaluan. Dia tidak bisa diam saja melihat semua ini. Putranya itu harus diajak bicara, dibuka mata hatinya, dan dibersihkan pikiran-pikiran buruk yang selalu tersimpan di otaknya.
Dia pun tak habis pikir mengenai watak anak tengahnya itu, rasanya sikapnya tak seperti itu pun sikap suaminya. Suaminya memiliki perangai yang bijak nan lembut. Tidak keras kepala seperti Arya.
Dan sosok yang sedang menjadi buah pikirannya pun tengah memasuki rumah dan berucap, "Assalamualaikum!" Arya melepaskan sandal lalu mulai menanggalkan jaketnya. Ela memerhatikan anaknya itu dengan kecewa.
"Waalaikumussalam, sudah puas membuat sahabat-sahabatmu sakit? Mamak nggak menyangka padamu, Naaaak. Ya Allah kenapa kau sangat keras kepala dan suudzon-nan seperti ini?"
"Mamak kenapa? Arya nggak paham."
"Nggak paham atau pura-pura nggak paham?! ke mana hatimu, Nak. Ke mana? tidak kah kau lihat wajah-wajah kecewa dan sedih sahabatmu? tega sekali kau, Arya. Siapa yang mengajarimu seperti itu? Kamu nggak mewarisi sikap orangtuamu ini, Bapak adalah sosok yang lembut dan penyayang, tidak sepertimu."
"Apakah kau tahu? Radinka ... di sini, bahkan di depan Mamak, dia tidak bisa menahan keperihan yang tertanam di hatinya karena ulahmu! dia terisak, menangis pilu di sini. Di sini, di hadapan Mamak, tanpa bisa dicegah. Kamu tahu artinya? artinya, ia sudah teramat sakit menerima semua ini." Ela terduduk di ujung kursi, tertunduk menangis di sana.
Arya hanya mampu bergeming.
"Mamak sungguh kecewa padamu, Nak." Kembali Ela berucap lirih.
"Jika cinta, katakan. Bukan malah menyakitkan."
***
Seminggu sudah sejak hari itu, hari di mana dirinya tanpa pikir panjang menumpahkan kesedihannya. Membuat orang-orang terdekatnya tahu betapa malang nasibnya, membuat Mamak--Ibu Arya--harus menyaksikan kepedihan yang dia pendam akibat ulah anaknya.
Hari ini, dia akan belajar mundur. Mundur dari rasa cinta yang sepertinya segera dia lepaskan. Kali ini, dia akan turutin saran sang Kakak.
Melupakan dan mengikhlaskan.
Ya, dia akan melupakan semua kenangan yang tersimpan rapi di memori ingatannya, kenangan sejak lima tahun yang lalu hingga sekarang, semua kenangan manis yang Arya lakukan padanya. Semuanya akan dia ikhlaskan.
"Belajarlah melupakan dan mengikhlaskan. Kakak tahu, terkesan sulit tapi semuanya tergantung pada niat dan tekad yang kuat. Jika niat dan tekadmu sudah kamu genggam, Insya Allah semuanya akan terasa lebih mudah."
Radinka mematut dirinya di depan cermin, mata bengkaknya masih terlihat. Bagaimana tidak, setiap malam dia habiskan dengan menangis, menangis, dan menangis.
Berat.
Sangat berat. Melupakan seseorang yang selama lima tahun memenuhi kekosongan hatinya, meski seseorang itu entah menyimpan nama siapa dihatinya.
Cardigan yang tersampir di kursi depannya, segera ia kenakan. Jeans biru pudar berpadu dengan kaos polos serta cardigan menjadi ootd hari ini. Memulas lipstick berwarna peach dibibirnya, serta sedikit eyeliner agar matanya tak terlalu kusam. Setelah merasa cukup, dia keluar dari kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka dalam Prasangka ✔
General Fiction[Fiksi umum-spiritual] Judul awal "I Dont Want You Know" berganti menjadi "Luka dalam Prasangka" *** Radinka Fatimah menyimpan rasa pada Arya namun rasanya itu terpaksa ia simpan karena sebuah janji yang diucapkan oleh laki-laki itu. Sebuah janji ya...