Jangan pernah memberikan cinta kalian kepada laki-laki, walaupun sehebat apapun dia ... sampai dia mengatakan 'Saya terima nikahnya fulanah binti fulan dengan mahar sekian' barulah kau katakan 'Aku berikan cintaku untukmu'
--Ustadz Hanan Attaki--
🌹🌹🌹
"Kalo enggak gue ingatkan pasti lo lupa, 'kan?"
"Iya sayaaaaang. Makasih loooooooh! puaaas A'?!"
Suara A' Didit dan Reana dari ruang tamu terdengar. Sepertinya mereka baru saja sampai. Mata kami menunggui mereka keluar dari ruang tamu setelah sosok mereka terlihat, mereka berjalan mendekati kami.
A' Didit langsung berjalan ke arahku dan mengusap puncak kepalaku seraya berkata, "Sudah enakan, Di?" aku mengangguk dan melayangkan pertanyaan balik padanya, "Kalian, kok, bisa barengan?"
A' Didit dan Reana saling menatap lalu Reana menjawab, "Ketemu di jalan, Di. Gue ganti baju dulu ya." Dia langsung pergi ke kamarku yang sekarang menjadi kamarnya. Aku sedikit curiga kenapa Reana yang menjawab apalagi dengan nada yang sangat mencurigakan.
Bola mataku tak sengaja melirik Arya yang juga melirikku, duhh ... malu deh ketawan curi-curi pandang padanya. Lagipula kenapa dia juga melirikku? ingin sekali aku menduga bahwa dia memerhatikan diam-diam tapi rasanya tidak mungkin karena seperti yang sudah-sudah, setelah aku merasa ingin terbang lalu aku dijatuhkan dengan ucapan pedas Arya. Jangan lagi deh! aku tidak ingin merasakan sakit.
"Udah makan, Di?" A' Didit kembali bertanya dan aku mengangguk, melihat perhatian dirinya seperti ini membuatku merindukan Kak Baim yang sedang melaksanakan tugasnya di Surabaya.
Terkadang perasaan kehilangan menyusup dihatiku ketika mengingat keluarga kami terpecah; Papa di Lapas, Mama dan Dek Ina di Pagar Alam, Kak Baim di Surabaya, sedangkan aku di rumah sendirian.
Tanpa kusadari air mataku mengalir membasahi pipi bulatku yang sering menjadi ejekan empuk Arya sewaktu SMA dulu, dia akan selalu mengatakan 'pipi bola'.
Padahal aku sangat yakin, pipiku tak sebuat itu!!
"Lah kenapa lo nangis, Dek?" suara A' Didit kembali terdengar aku mendongkak menatap ke arah depan, mereka semua menatapku dengan kebingungan.
Kugelengkan kepala mengatakan tidak apa-apa lalu lengan A' Didit yang berada di sampingku kujadikan sandaran seraya berucap, "Aku kangen Kak Baim." Lirihku.
A' Didit langsung mengusap kepalaku menenangkan dan mataku tak sengaja kembali melirik Arya yang membuang tatapannya ke arah lain dengan rahang yang mengeras. Dia kenapa? apakah dia tak suka melihatku menjadi manja seperti ini, apa dia keberatan aku selalu menjadi beban mereka? Aku menerka-nerka sampai suaranya membuyarkan dugaanku.
"Dek, ini udah sore lebih baik kita pulang. Sudah ada Didit dan Reana juga," ujarnya pada Akina yang mengangguk patuh.
Mereka beranjak dari duduknya lalu aku ikut berdiri. Akina mendekatiku dan memelukku sejenak setelah itu dia mengisyaratkan bahwa aku harus ingat ucapannya di Rumah sakit beberapa jam yang lalu, ucapannya? yang mana?
"Ayo, Dek. Daritadi Abang udah ditelepon Dhelia," Arya kembali berucap dengan tertahan.
Dhelia lagi yang dia bahas!
Akina mengangguk menanggapi ucapan Kakaknya namun sebisa mungkin dia menyobek sticky note dan menulis sesuatu lalu dia selipkan digenggaman tanganku. Dia mengisyaratkan untuk aku menyimpan kertas yang dia berikan.
Kuratapi kertas yang sudah berada digenggamanku dan buru-buru kusimpan di saku jeans lalu segera mungkin menyusul Akina yang berjalan cepat menyamai langkah Kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka dalam Prasangka ✔
General Fiction[Fiksi umum-spiritual] Judul awal "I Dont Want You Know" berganti menjadi "Luka dalam Prasangka" *** Radinka Fatimah menyimpan rasa pada Arya namun rasanya itu terpaksa ia simpan karena sebuah janji yang diucapkan oleh laki-laki itu. Sebuah janji ya...