Selamat Membaca dears:*
***
Aku menghamburkan diri kepelukan Kak Baim saat turun dari mobil dan melihat dirinya sudah berdiri di sana. penampilannya yang sangat santai dengan jeans hitam serta kaos oblong yang dilapisi jaket denim serta rambutnya yang--katanya model quiff--tertata rapi.
Tak menyangka Kakakku seganteng ini!
"Kok malah molor waktunya, Kak. Ini udah lebih dari jadwal yang seharusnya!" rutukku, pasalnya ini sudah lebih dari sebulan dari waktu yang dijanjikan.
Kak Baim terkekeh dengan suara yang agak parau. Ada apa dengan dirinya? kudongkakkan kepala dan mendapati hidungnya yang sedikit merah, apakah dia flu?
"Kakak lagi flu?" tanyaku. Dia mengangguk.
"Hallo Re, apa kabar kamu?" Kak Baim bertanya pada Reana yang baru saja muncul, lama banget dia kembali dari parkiran, seramai itu kah Bandara sehingga lahan parkiran padat.
"Baik, Kak. Hehe. Kalo Kakak kutebak pasti sedang kurang baik, yekan?"
Kak Baim terkekeh parau. Dia membawaku ke sampingnya dan merangkul bahuku. "Lagi flu, Re. Surabaya lagi musim hujan."
"Udah minum obat?" tanyaku
"Udah, Sayang!" Heleehh giliran dekat aja sok-sokan manggil sayang coba saja di telepon, rese-nya minta ampun!
***
Tok ... tok ... tok
Kuketuk pintu kamar Kak Baim yang selama ini kosong karena ditinggal sang tuan. Aroma maskulin masuk keindera penciumanku, kubuka pintu lebar saat dia memberi persetujuan untuk kumasuki kamarnya.
Kamar bercat warna hitam-putih layaknya zebra cross hahahaa, terlihat sangat rapi meski lantainya masih sedikit lengket karena debu.
"Kak debunya masih lengket nih."
Kak Baim yang semula duduk di meja belajarnya, berdiri dan mengambil posisi duduk di tepi ranjang.
"Sapuin gih."
Weleehh! enak banget dia.
"Nggak mau!" tolakku mentah-mentah.
"Oke! aku nggak mau dengerin curhatanmu," katanya berdiri lalu kembali duduk di meja belajarnya. Memfokuskan dirinya pada layar laptop yang menampilkan banyak garis-garis yang membuatku puyeng.
Dengan menggerutu, kuraih sapu yang berada di belakang pintu kamar, kemudian mulai membersihkan debu-debu di lantai yang masih terasa. Dasar! lelaki mah emang payah dalam urusan rumah tangga.
Eh, apa dirimu tidak Inka? apa kau bisa memasak? Hehe ... lupakan, nanti saat aku menikah bersama Arya, aku pasti belajar memasak kok dan tentunya dia akan nagih terus-menerus masakan ala chef Radinka Fatimah. Duh.
"Udah nih!" kataku setelah lantai sudah tidak terasa debu-debu yang tak mengenakkan telapak kaki saat memijaknya. "stop dulu kali, Kak. Kerjaan mulu sih dikekepin."
Kak Baim menegakkan punggungnya. "Siapa?" tanyanya. Dih ngeselin 'kan.
"Siapa juga yang ngekepin kerjaan. Orang kontrakku sudah habis kali," lanjutnya melepaskan kacamata bening yang bertengger dihidung bangirnya. Merapikan rambut depannya ke belakang lalu mengangkat alisnya yang kuanggap sebagai pertanyaan.
"Bentar, Kak! katamu tadi, kontrak Kakak habis, itu artinya selamanya Kakak di Palembang? Horeeeeeeee!" Bagaimana tidak antusias jika dirinya tidak akan lagi tinggal di Surabaya. Ah, artinya aku tidak hanya tinggal berdua saja bersama Reana melainkan dirinya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka dalam Prasangka ✔
General Fiction[Fiksi umum-spiritual] Judul awal "I Dont Want You Know" berganti menjadi "Luka dalam Prasangka" *** Radinka Fatimah menyimpan rasa pada Arya namun rasanya itu terpaksa ia simpan karena sebuah janji yang diucapkan oleh laki-laki itu. Sebuah janji ya...