Chap ~ 22

1.3K 252 112
                                    

Maaf ya aku jarang update, pertama karena aku sibuk di kantor baru. Kedua, sibuk main rp, ketiga sibuk pacaran...wkwkwwk *bercanda*. Aku lagi gak mood ngetik apa-apa sebenarnya, ini juga gak niat mau update. Tetapi karena udah janji sama adek manis semalam, pengen ngebujuk dia biar gak sedih lagi dan gak galau lagi, aku menjanjikan dengan update FF, *kurang baik apa coba?* Sorry telat ya, soalnya aku kan lagi sakit.

Tapi, kalau nanti ceritanya jelek, maaf ya. Komen aja kalau hasilnya jelek dan tidak memuaskan atau tidak nyambung. Aku gak akan marah, malah akan aku perbaiki atau ketik ulang ^^

.

.

.

Demam Hyunjin semakin parah, Jaebum segera membawanya ke Rumah Sakit. Setelah dokter memeriksa, ternyata Hyunjin terserang tipes. Kondisinya cukup parah, Jaebum merasa bersalah dan tidak becus menjadi ayah. Dia bukan hanya terlalu sibuk dengan pekerjaanya, tetapi juga sibuk dengan perasaanya.

Lagi-lagi, Jaebum melukai Hyunjin dengan segala keegoisannya. Sama seperti saat jennie meninggalkannya, ia juga terpuruk sendiri lalu mengabaikan Hyunjin. Padahal, Hyunjin satu-satunya yang ia miliki saat ini. Satu-satunya orang yang harus ia perhatikan dan ia curahkan kasih sayang.

Setelah menjalani pemeriksaan dan tes darah, Hyunjin harus tinggal di Rumah Sakit untuk opname. Jaebum terpaksa menyerahkan pekerjaan kantor pada asistennya. Mark masih belum masuk kerja, Jaebum juga tidak ingin merepotkan Mark setelah kejadian beberapa hari lalu.

Semalaman tidak tidur, membuat kepala Jaebum sedikit pusing. Ia memilih pergi ke kantin untuk membeli secangkir kopi dan sepotong kimbab.

Langkah kakinya terhenti saat ia melihat Jinyoung dan-- "Dia penari stripper itu?! Jadi--"

Dengan amarah yang menggebu, Jaebum melangkah lebar mendekati kedua pria yang sedang berdiri di meja administrasi. Jika semua dugaanya benar, dan puzzle di kepalanya tersusun, maka entah bagaimana keadaan hatinya. Jaebum meminta tolong pada seorang pemuda yang kebetulan lewat, ia membisikan sesuatu sambil menunjuk ke arah Jinyoung lalu menyelipkan beberapa lembar won untuk pemuda itu.

.

.

.

"Terima kasih Suster." ujar Jinyoung sopan lalu ia berbalik kesamping melihat Bambam dengan tatapan 'sudah ku bilang,kan?'

Bambam memutar mata malas. "Demam biasa juga harus di obati, Jinyoung. Kau pikir dengan mengurung diri di rumah bisa sembuh sendiri!"

"Iya-iya. Aku tidak mau berdebat denganmu. Ayo kita pulang." Jinyoung malas berdebat. Sejak ia demam, Bambam terus merepetinya dan menyuruhnya ke rumah sakit periksa. Padahal Jinyoung hanya demam biasa, ia cuma tidak enak badan.

"Tunggu sebentar, Youngjae sedang membawa mobil yang aku parkir di halaman belakang Rumah Sakit." Jinyoung mengangguk kecil.

"Park Nara-ssi?"

Kepala Jinyoung tertoleh ke arah suara yang memanggil nama terlarang itu, ekspresi wajah terkejut Jinyoung tidak dapat di sembunyikan.

"Kau memanggil siapa? Kau salah orang!" sahut Bambam ketus.

Pemuda itu menghiraukan Bambam dan hanya terfokus pada Jinyoung. "Benarkan Park Nara? Kita pernah bertemu di klub tempatmu bekerja--"

Bambam berdiri di depan Jinyoung, ia menghalangi pemuda itu berjalan semakin dekat kearah Jinyoung. "Yah! Aku sudah bilang kau salah orang!"

"Ah--Kau juga yang menari itu kan? Penari strip--"

Bambam mendorong pelan pria itu, menyuruhnya pergi dengan paksa. "Kau salah orang! Jangan ganggu kami atau aku akan melaporkanmu ke polisi!!"

Identity (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang