Part 1

5.5K 342 9
                                    

Sentuhan jemari panjang nan hangat itu membangunkan tidurku, yang sepertinya belum begitu nyenyak. Setelah mengerjap beberapa kali dan tanganku mengusap sebentar, mata ini memandangi sosok yang hanya beberapa inci itu dalam gelap.

"Jam berapa sekarang? Kamu baru pulang?" Aku bangkit dan duduk di tepi ranjang kecil itu. Tanganku meraih skakel lampu tidur di nakas untuk menyalakanya.

"Jam dua belas. Keifek, Ya Elbi?"
(Apa kabar, jantung hatiku) Tangan kanannya menaruh kantong kertas di pangkuanku.

"Makanlah!" tambahnya.

Sudah menjadi kebiasaan Omar setiap pulang kerja. Dia akan datang ke kamarku dengan membawakan sepotong shawarma* dan sekaleng Pepsi. Lalu mata coklat itu akan memandangiku makan dengan menduduki kursi plastik di hadapanku.

Kamarku berada di lantai bawah bagian belakang, bersebelahan dengan dapur dan ruang cucian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kamarku berada di lantai bawah bagian belakang, bersebelahan dengan dapur dan ruang cucian. Lebih tepatnya di sebelah kiri pintu masuk dari garasi. Lokasi yang jauh dari kamar mereka yang di lantai atas, membuat kami bisa berbincang setiap malam tanpa ketahuan. Setidaknya sampai saat ini, kami aman. Pria itu bisa mampir dikamarku dengan mudah, selama garasi itu tidak berpindah tempat.

Omar al Dousarry adalah anak laki-laki dari majikan brengsekku. Satu-satunya alasan yang membuatku bertahan di rumah biadab ini. Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah kabur dari sini, atau malah sudah mati.

 Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah kabur dari sini, atau malah sudah mati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keluarga barbar ini memperlakukanku tanpa sedikitpun belas kasihan. Kerjaan yang tiada habisnya, makian yang tak berbatas, fitnah tanpa akhir bahkan siksaan fisik yang tak terperi. Semua itu terjadi hampir setiap hari. Satu-satunya kebahagian adalah saat malam, tidur beberapa jam dan kehadiran Omar yang selalu menenangkan. Kadang otak ini bertanya, kenapa aku masih bertahan sampai saat ini.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, bagaimana kabarmu hari ini?" ucap Omar membuyarkan imajinasi yang berkelana.

Aku memandangi wajah yang bertambah macho oleh remang lampu tidur itu.

"Buruk!" Aku menunjukkan pelipis dan lengan kananku ke arahnya.

Shawarma telah sampai ke perut, sedangkan Pepsi masih separuh. Kutaruh kaleng biru itu di atas nakas. Aku sudah kenyang.

SURVIVING SURIA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang