Part 19

1.7K 191 19
                                    

Pria asing itu mengajakku keluar. Aku yang ketakutan, berusaha mencari alasan untuk menolaknya. Kubilang saja, aku harus pamitan sama Koujan dulu. Namun, dia berkata bahwa Koujan sudah tahu, kalau aku akan keluar dengannya.

“Bukankah kamu ke sini untuk menggantikan kakakmu?” tanya pria beriris cokelat itu. Matanya mengerling sebentar ke arahku.

Dadaku berdegup kencang. Okey, ini bukan pertamanya aku pergi dengan pria asing, tapi entahlah, perasaanku kok tidak enak. Rasanya berbeda jauh dengan saat Murad mengajakku. Mungkin hati ini terbebani dengan dua juta lira, jadi wajar kalau aku nerveous.

“Iya!” jawabku singkat. Perasaanku masih belum tenang. Kata-kata Rania soal perempuan baik-baik pun, ikutan muncul mengangguku. Ya Tuhan, sekali ini saja. Aku janji, aku tak akan mengulanginya lagi.

Akhirnya aku mengikuti pria itu keluar. Degup jantungku yang bertambah kencang menandakan kalau sesuatu yang tidak baik akan terjadi. Bayangkan, di zaman sekarang ada orang menawarkan pekerjaan dengan gaji dua juta lira.Pasti itu bukan sembarang pekerjaan.

Tapi aku berusaha menghiraukan kecamuk di otak. Dia berjalan menuju mobil putih yang terparkir di halaman. Aku mengikutinya dengan jarak tak sampai semeter.

Pria yang belum kuketahui namanya itu, menyuruhku duduk di depan. Dia sendiri menyusul duduk di belakang kemudi, setelah aku menutup pintu. Kami saling diam. Hatiku makin berdebar. Kalau sama Murad dulu, aku ada clue mau dibawa kemana. Tidak seperti ini.

Setelah bermobil sekitar lima belas menit, pria itu meminggirkan mobilnya. Di sisi kanan ada tebing tinggi dan di sisi kiri ada jurang. Kulihat kanan kiri, tampak sepi. Jangankan rumah, pohon pun tidak ada. Bibirku komat kamit tanpa suara, melafazkan Al Fatihah. Ya Tuhan, aku masih mau hidup.

Kami tidak keluar dari mobil, berarti aman. Kulihat dia membuka laci dashboard dan mengambil sebuah map berwarna biru.

“Okey, sekarang kamu baca kontrak kerja ini!” Dia menyerahkan selembar kertas bertuliskan Arab gundul yang baru diambilnya dari map biru tadi. Aku bisa membaca Quran, tapi kalau tulisan tanpa harakat begini, aku tidak yakin.

“Maaf, tapi aku ngga bisa baca ini. Bisakah kamu kasih versi Inggrisnya?”

“Oh, kamu bukan orang Suriah ya, tapi tadi kalau ngga salah dengar, nama kakakmu mirip nama orang Suriah.”

“Apakah masalah?” Sekarang aku mulai tenang, tidak secemas tadi.

“Tidak! Okey, kubuatkan versi Bahasa Inggrisnya. Tunggu sebentar!”

Kami berdua masih di dalam mobil dengan jendela kanan kiri terbuka. Angin musim gugur sesekali menerobos masuk lewat jendela. Sementara dia mengetik di pad-nya, aku memainkan telapak tanganku. Meremas-remas, menggaruki jari satu persatu, bahkan memijat-mijat punggung tanganku. Sesekali kupandangi kuku-kuku jelekku juga.

“Okey, silahkan baca!” perintahnya dengan suara dan ekspresi yang masih sama dengan awal ketemu tadi. Tangannya menyerahkan pad putih padaku.

Kubaca isi kontrak itu lima kali, hanya untuk memastikan aku tidak salah mengartikannya.

“Maksudmu, aku bekerja sebagai istri palsu ... mu?” tanyaku ragu. Mungkin dia salah tulis atau aku yang salah mengartikannya.

“Iya. Selama enam bulan!”

“Sebentar, istri di sini artinya saat kita di panggung, kan? Maksudku, saat kita di depan orang-orang saja. Saat di luar ... kamar.” Lidahku kebingungan merangkai kata. Sumpah, ini pekerjaan tergila dalam hidupku. Pantas saja bergaji dua juta lira.

“Kamu pikir aku mau menikahimu beneran?” tanyanya dingin. Iya, pria itu tiba-tiba dingin. Matanya menatap tajam ke arahku. Aku menundukkan muka.

SURVIVING SURIA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang