Part 24

1.6K 191 22
                                    

Iman mengantarku menemui Polisi yang masih berdiri di depan pintu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Iman mengantarku menemui Polisi yang masih berdiri di depan pintu. Ada dua pria berpakaian hijau army, yang satu seumuran Murad dan satunya lagi masih sangat muda. Mereka tersenyum kecil ke arahku.

“Apakah anda keluarganya Tuan Wasouf?” tanya Si Polisi tua(seumuran Murad)
Aku bingung harus menjawab bagaimana. Apakah aku harus bilang kalau aku istrinya? Tapi kalau mereka minta KTP, bagaimana?

“Maksudnya?” Aku pura-pura tidak paham, padahal otakku sedang mencari jawaban yang tepat.

“Apakah anda istri Tuan Wasouf?” ulang polisi yang muda.

Apakah aku harus berpura-pura tidak bisa berbahasa Arab saja, ya? Iman tampak memandangiku. Pasti dia juga memikirkan sesuatu.

Aku belum sempat menjawab, saat ada seorang pria botak setengah baya, berjalan ke arah kami. Aku sepertinya mengenali pria itu.

Ah iya, aku pernah bertemu sekali dengannya, di sebuah rumah makan. Waktu itu aku menduga bahwa dia seorang pengacara, karena membicarakan masalah warisan dan menyuruh Saleem menandatangani beberapa dokumen.

“Selamat pagi, Tuan Polisi! Selamat pagi, Nyonya Saher Wasouf!” Tiba-tiba terasa ada yang menyangkut di tenggorokanku.

Aku lupa bahwa namaku Saher Sagolasten yang sekarang menjadi Saher Wasouf. Terima kasih Tuhan, Kau telah mengingatkanku lewat Bapak ini.

Aku hanya mengangguk pelan dengan sedikit senyum di bibir. Lebih karena keberuntungan bukan keramahanku.

“Aku sudah tahu, Tuan Polisi. Tadi, sekretaris Tuan Wasouf sudah mengabariku,” ucap Bapak Yang-Mungkin-Pengacara itu.

Mereka membuatku lebih bingung lagi tentang apa yang sebenarnya terjadi.

“Maaf, bisa beritahu saya, apa yang terjadi?” Aku menyela percakapan mereka. Sepertinya mereka lupa akan keberadaanku di sini.

“Begini, Nyonya ...,” ucap Polisi muda tapi terpotong oleh Bapak berkepala botak.

“Biar aku saja, Tuan Polisi!”

Rasanya aku ingin mencakar mereka semua karena telah membuatku semakin penasaran.

“Nyonya Wasouf, saya turut berduka cita. Dini hari tadi, mobil Tuan Wasouf mengalami kecelakaan dan dia ... dia tak terselamatkan,” ucap Bapak itu pelan dan hati-hati.

“Apa? Saleem kecelakaan?” Aku menutup mulutku dengan telapak tangan. Iman juga melakukan hal yang sama, tapi ekspresinya lebih dramatis daripada aku.

Bagai disambar petir, aku bingung harus bagaimana. Semua di luar dugaanku. Dan persiapanku. Apakah aku harus sedih atau bahagia? Bagaimana dengan kontrakku? Dua juta liraku? Apakah itu artinya aku akan pulang dengan tangan kosong?

“Nyonya ... baik-baik saja, kan?” Bapak itu menyadari kepanikanku, meskipun mungkin dia tidak sepenuhnya paham penyebabnya.

Iman dengan sigap menuntunku menuju sofa ruang tamu, sementara Si Bapak berbincang dengan polisi.

SURVIVING SURIA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang