Part 12

2K 192 13
                                    

Mataku membuka perlahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mataku membuka perlahan. Tampak langit-langit berwarna putih dengan tembok warna yang sama. Satu-satunya hiasan di tembok itu hanyalah jam dinding. Kutengok sekitar, ruangan tak seberapa luas dengan meja kayu kecil di pojokan. Di sebelahnya ada lemari kecil

Aku sendiri terbaring di ranjang bersprei putih. Di tangan kiriku ada selang infus. Sepertinya aku berada di sebuah klinik sederhana, kalau di Indonesia disebut puskesmas.

Tak jauh di sebelahku, ada seorang pria duduk bersandar ke tembok. Matanya terpejam. Ketiduran. Aku belum pernah bertemu dengannya.

Kepala plontos, rambut tipis nan rapi menghiasi dagu dan pipinya. Mirip Omar. Tubuhnya lebih besar dan pendek dari priaku itu. Dia memakai kaus putih berlengan pendek yang memperlihatkan trisep penuh tato. Kedua telinganya bertindik.

Hanya dengan melihat penampilannya saja, aku sudah bergidik. Ya Tuhan, apa lagi yang akan terjadi padaku. Terus terang aku belum pernah bertemu orang model begini.

Kulihat jam dinding menunjukkan pukul dua belas. Aku melihat ke arah jendela, luar ruangan tampak gelap. Malam.

Berarti aku tadi telah pingsan sejak sore Seseorang telah melihat dan menolongku. Mungkin seseorang itu ... dia. Pria yang duduk ketiduran itu.

Tenggorokan yang kering memaksaku bersuara.

“Lau samahtu(please), bolehkah aku meminta air minum?”

Pria itu membuka mata dan berdiri.

“Tob'an!(tentu)” Tangan bertatonya mengambil botol air minum dari atas meja, lalu menuangkannya ke dalam gelas plastik berwarna biru.

“Syukurlah kamu sudah siuman,” tambahnya lagi sambil mengulurkan gelas berisi air itu.

Aku berusaha bangun untuk minum, tapi pundak ini terasa lemah. Pria itu membantu dengan memegang pundakku. Meskipun terasa risih, apa boleh buat, aku tidak bisa menolaknya. Ranjang ini tidak bisa disetel naik turun, sebagaimana di Rumah sakit kebanyakan.

Segelas air itu sudah kuminum habis. Terasa segar menyapa tenggorokan. Sekarang giliran perut yang minta diisi. Aku malu mau meminta ke orang itu lagi.

“Kamu lapar?” ucapnya lembut, jauh sekali dari tampangnya. Bagaimana dia bisa membaca pikiranku, ya? Seperti cenayang saja.

Aku bahkan belum menganggukkan kepala, saat dia sudah membawa semangkuk syurbah yang diambil dari lemari kecil.

Pria itu berniat menyuapi, tapi aku menggeleng dengan cepat sambil mengambil mangkuk syurbah dari tangannya.

Makanan yang berbentuk bubur oatmeal yang encer ini, enak sekali. Tidak pedas namun cukup terasa rempahnya. Apakah dia pembuatnya? Kalau dilihat dari tempat dan bentuknya, makanan ini tidak mungkin beli. Aku hapal sekali perbedaan makanan luar dan homemade.

Setelah perut kenyang, aku mulai merancang beberapa pertanyaan untuk Si Dewa Penyelamat itu. Setidaknya aku harus mendapat clue, apakah dia baik ... atau jahat.

SURVIVING SURIA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang