Part 14

1.9K 187 1
                                    

Bibirnya menyeruput kopi panas itu sambil berdiri

“Tapi acaranya akan diadain di Gereja, bagaimana?”

“Maksudmu?” Aku bertanya.

Tanganku bersedekap di dada, persis sepertinya beberapa saat lalu. Perasaanku tidak enak, jangan-jangan ini ada hubungannya dengan cerita kiblat kemarin. Dan bangunan yang kulihat tadi.

“Iya, pernikahannya di Gereja. Jadi aku tanya dulu, di agamamu boleh tidak masuk ke Gereja,” jelasnya.

Kami berdua bergerak menuju balkon untuk duduk dan menikmati udara pagi.

“Bagaimana ya, aku belum pernah melakukan itu.” Aku berdiri menyandar di tembok dengan mata mengarah ke bangunan yang menempel di tebing.

“Aku juga tidak tahu, apakah agama kalian mengizinkan umat lain masuk ke gereja atau tidak. So ... demi kebaikan bersama, mungkin aku ngga usah ikut. Bagaimana?” tambahku. Kali ini aku menatap wajah pria bermata abu-abu itu.

“Mafi mushkillah! Kamu berani kan, sendirian di rumah?”

“Hey ... aku bukan anak kecil!” jawabku sambil tersenyum. Kupastikan senyum di bibir ini lebih lebar dari senyumnya.

Aku tidak pernah mempelajari agamaku secara mendalam. Jadi masuk ke tempat peribadatan agama lain itu diperbolehkan atau tidak, aku tidak tahu.

Lagi pula, aku juga tidak pernah mengira kalau  akan tersesat di tempat bernama Maaloulla dan bertemu dengan pemuda kristen koptik bernama Murad. Bahkan negara bernama Syria pun, aku baru memahaminya sekarang. Semuanya sama sekali tidak pernah terlintas di otakku sebelumnya.

Di sekolah dulu, sepertinya aku tidak mempelajari negara ini. Pernah tersebut dalam beberapa mata pelajaran, tapi tidak pernah didalami secara khusus. Secara aku belajar di sekolah negeri, di mana agama Islam tidak diajarkan mendetail. Apalagi sejarah kebudayaan Islam.

Seandainya aku pegang gawai, mungkin masalah ini bisa kupahami dengan mudah. Tinggal ketik apa mauku di Google dan tidak sampai sedetik, akan muncul sederet jawabannya. Sekarang aku baru sadar, bahwa Seorang Suria tidak sepintar di bayangan. Poor me.

Pria bertato itu menyeruput kopinya yang sudah hampir habis. Matanya beberapa kali menatapku. Ada semburat kasih di sana, tapi tidak kutemukan api sedikit pun.

***
Malam ini kami duduk berdua di ruang tamu yang tanpa televisi. Aku duduk di sofa dan dia di kursi kayu. Kami hanya berbincang seputar cuaca dan hal ringan lainnya.

Siang tadi Murad membeli sebungkus popcorn mentega dan sebotol Pepsi. Beberapa kali kulihat pria itu tertawa lepas. Oh ya, sekarang dia jarang menutupi mulutnya lagi saat tersenyum. Sebuah kemajuan meskipun kurang menggemaskan, sih!

“Murad, kapan kamu kembali bekerja lagi?” tanyaku di sela-sela obrolan kami.

“Aku sudah tidak bekerja di sana lagi. Sekarang aku mencoba untuk mencari kerja di sini.” Tangannya memainkan sebutir brondong jagung yang dia lempar ke atas lalu akan ditangkap oleh mulutnya. Lucu.

“Lah ... kenapa?”

“Aku ngga tega meninggalkanmu sendirian di rumah.”

“Tapi mencari pekerjaan baru, bukanlah hal yang mudah, kan?”

“Benar, apalagi dengan penampilan seperti ini,” jawabnya masih tersenyum. Dahinya mengerut.

Kenapa Murad sesayang ini padaku. Padahal kami baru kenal beberapa hari yang lalu. Bahkan orang yang jatuh cinta sekali pun, memerlukan waktu yang lebih lama untuk berkorban sejauh itu.

SURVIVING SURIA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang