Part 28

1.7K 185 16
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Welcome to Bloudan. Itu yang tertulis pada plang hijau di tepi jalan, saat aku keluar dari mobil. Kami menyusuri jalanan menanjak khas pegunungan yang tertutupi salju tipis. Khaleed mengajakku masuk ke sebuah kafe yang berornamen Turki.

Sepulang dari Maaloulla, Khaleed tidak membawaku balik ke Damaskus. Tapi, malah ke pegunungan ini. Hmm ... pria manis yang aneh.

Kami duduk di pinggir jendela. Meskipun mata memandangi hamparan salju di luar, kepalaku masih penuh dengan Murad. Kenapa akhirnya jadi begini, ya? Siapa yang salah, aku atau dia.

Kuhela napas panjang. Mata ini yang sembab, mulai basah lagi. Sungguh, semua ini tak pernah terpikir olehku.

Aku yang bodoh. Aku yang naif.

“Kamu suka salju?” Suara Khaleed mengalihkan mataku dari salju. Aku mengangguk dan tersenyum kecil.

“Iya. Meskipun banyak orang mengkonotasikan salju dengan kedinginan dan kematian. Namun, bagiku salju itu lambang kehangatan dan kehidupan.”

“Ada alasan yang masuk akal?”

Pria itu mencentang beberapa pesanan di buku menu dan memberikannya pada pelayan.

“Hanya dengan salju, kita bisa merasakan kehangatan yang sesungguhnya. Perapian, baju tebal, syal rajut, dan topi bulu. Salju menandakan kalau musim semi; musim di mana kehidupan dimulai, sudah dekat.”

“Dan, di Indonesia tak ada salju. Ini pertama kalinya aku melihat dan merasakannya,” tambahku

Seorang pelayan datang membawa dua cangkir kopi Turki, dua gelas air putih, semangkuk kecil permen Turki dan seranjang Croissant.

Bibir kemerahan itu menyeruput kopinya dari cangkir berwarna putih dengan hiasan ottoman keemasan di sisi depannya.

“Boleh tanya, kenapa kopi dan permen selalu tak terpisahkan?” Kusesapi kopi pahit nan kental itu.

“Dan air putih,” Khaleed menyeruput kopinya, “Karena manis akan menutupi pahit. Jadi sepahit apapun kopimu, rasa itu akan hilang dengan sebutir permen. Sedangkan air, menetralisir rasa keduanya, mengembalikan lidahmu ke netral.”

“Jawaban yang masuk akal juga. Secangkir Kepahitan akan hilang oleh sebutir kecil kemanisan.”

Seandainya saja aku ketemu Khaleed sebelum Saleem dan Murad, tentu alur ceritaku tidak seperti ini. Namun, bukankah kehidupan nyata pun, perlu ada logika. Kalau dinalar, aku tidak mungkin ketemu Khaleed di rumah kebun itu, kan? Pun di rumah Koujan, orang sebaik dia tak mungkin berhubungan dengan rentenir.

“Khaleed, bagaimana kalau Murad, tetap tak mau keluar dari sana. Meskipun kamu sudah melunasi hutangnya?” Aku bingung, uang dua juta itu sangat banyak. Sekitar enam puluh juta, kalau dirupiahkan. Kalau Murad masih keras kepala dan duit itu melayang, bukankah sangat disayangkan.

SURVIVING SURIA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang