Part 33

1.6K 192 22
                                    

Sekarang masih pukul tujuh, belum terlalu petang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekarang masih pukul tujuh, belum terlalu petang. Aku masih bisa pergi menjenguk Murad. Kutatap Khaleed sejenak, mata itu menyimpan banyak pertanyaan. Haruskah kujelaskan semua padanya?

“Ada apa dengan Murad?” Pria itu bangkit dari kursi dan bergerak ke arahku. Tampak sedikit ketidaksenangan di wajahnya. Ekspresi itu selalu muncul setiap kami membahas Murad.

“Dia sakit.” Ada yang mengganjal di tenggorokan, membuatku tak bisa berucap lebih. Ucapan Rania benar-benar menggangguku.

“Di Maaloulla, 'kan?”

Aku menggeleng pelan.

“Di ... Damascus Hospital.”

Pria itu tampak terkaget, tapi segera menguasai diri dalam hitungan detik. Mungkin dia tak ingin aku mengetahuinya. Dia sangat pintar dalam pengendalian diri. Dan itu salah satu yang kusukai darinya.

Aku memang tak pernah bilang pada Khaleed, kalau Murad ada di Damascus, karena kuyakin dia juga tak ingin mendengarnya.

“Murad ada di Damascus?”

Aku hanya mengangguk, tak tahu harus bilang apa.

“Kamu mau ke sana? Sekarang?” Khaleed sekarang telah duduk di sampingku.

Kepalaku mengangguk lagi dengan mulut masih membisu.

“Ya sudah, ayo kuantar!” Dia bangkit dan menolehku.

“Jangan!” cegahku cepat. “Aku tak mau kejadian waktu itu terulang lagi. Aku pergi pakai taksi saja.” Waktu itu Khaleed mengalah dan keluar, tapi kali ini aku tak yakin dia mau melakukannya lagi. Setidaknya, hatiku bilang begitu.

“Jangan khawatir! Aku tak 'kan masuk. Kutunggu kamu di luar. Malam-malam begini, aku tak bisa membiarkanmu pergi sendirian. Aku tak akan tenang.”

Oh Tuhan, pria ini tak henti-hentinya menghanyutkanku. Dia itu terlalu ... lovable. Irresistible.

***
Sungguh aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Dia berbaring lemah di ranjang dengan tubuh kurus kering, rambut berantakan, dan brewok panjang tak beraturan. Sangat jauh dari Muradi yang kukenal. Yang menolong dan hidup bersamaku. Hanya menatapnya saja, airmataku mengalir tanpa kendali.

Pria itu diam, tak berucap sepatah kata pun untukku. Dia hanya melihatku sekejap(tak sampai semenit) lalu memalingkan muka. Dia masih marah, bahkan untuk sekadar menyapaku.

Rania juga memasang wajah sinis, tak ada sedikit senyum pun di wajah ayunya. Baiklah, keluarga kesayangan telah membenciku. Terus kenapa wanita itu memanggil, kalau tidak membutuhkanku. Hanya untuk meluapkan kebenciannya.

“Muradi, aku membawa pisang kesukaanmu. Yuk dicicipi!” ucapku memecah sepi. Kubuka paperbag berwarna putih itu dan kudekatkan ke arah Murad lalu Rania.

Pria itu masih membisu, sedangkan Rania menggeleng dengan senyum kecil di sudut bibirnya.

Kupandangi wajah Murad yang sendu. Meskipun mulutnya tak mau berucap, tapi kuyakin orang itu menyimpang jutaan kata untukku. Hanya egonya saja yang berlebihan. Atau sifat pemalunya? Entah.

SURVIVING SURIA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang