Part 32

1.6K 189 21
                                    

Khaleed PoV

Kulirik wajah eksotis itu dari ujung mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kulirik wajah eksotis itu dari ujung mata. Dia tampak fokus memandang ke luar. Beberapa kali dia mengucek mata, lalu membelalak seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dari ekspresinya saja aku bisa tahu, kalau dia mengenali tempat ini.

Dua kali sudah, aku bertanya dan dia tak mendengar. Kali ketiga dia menjawab dengan tergagap. Iya, dia sedang berkutat dengan memorinya.

Sejak aku ketemu Murad waktu itu, ditambah dengan cerita soal perkenalannya. Aku sudah menduga bahwa ini semua akan terjadi. Meskipun aku tak tahu dia bekerja di rumah yang mana, tapi aku yakin mereka bertemu di sini.

Sengaja, aku mengajaknya pergi lebih awal, supaya bisa membacaNYA, sebelum tersamar oleh malam.

Mendadak aku bersyukur dengan kelebihan yang satu ini. Analitis. Tuhan menganugrahiku kemampuan analitis yang membuat banyak orang iri. Termasuk Saleem.

Menurutku, mulut bisa dusta, tapi tidak dengan bahasa tubuh. Itulah kenapa, aku tidak begitu suka bertanya. Jadi saat aku bertanya banyak padanya, itu belum tentu karena aku ingin informasi. Kadang aku hanya ingin mendengarnya bicara saja, karena setiap perkataannya selalu mengalihkan perhatianku. Bahkan hal bodoh sekalipun.

“Kamu mengenali tempat ini, Ya Jubneh?” Ini pertanyaan ke duaku dan dia masih tak merespon. Mungkin wanita itu masih tersesat dalam ingatannya.

Kuperlambat laju mobil untuk memberinya lebih banyak waktu dalam mengingat.

***
Sejak kepergian Murad, rumah ini kosong. Bibi yang sibuk antara Suriah dan Paris, tak punya waktu untuk mencari penggantinya. Beberapa kali beliau mengeluh padaku dan Saleem, tapi apa boleh buat, kesibukan kami tak bisa berkompromi.

Kulihat Jubneh duduk di beranda samping, matanya tak beralih sejenak pun dari rumah sebelah. Pemandangan yang penuh penjelasan. Tanpa sadar, kepalaku mengangguk pelan.

“Bernostalgia, ya?” Aku duduk di sampingnya. Wanita itu terperanjat. Sorot lampu memperjelas wajahnya yang tersipu kemerahan

“M-maksudmu?” Manik hitam itu menyipit ke arahku.

“Mau lihat ke situ sebentar?”

“Tak masalah kah?”

“Setahumu, mereka memasang CCTV, tidak?” Aku bertanya balik.

Dia menarik bibir bawah dan mengangkat bahu lalu menjawab, “Aku tak tahu, tak pernah mengawasinya. Secara aku juga baru tiga hari di situ.”

“Mau ke situ?”

“Tidak untuk sekarang. Next time maybe.” Suaranya lirih hampir tak terdengar.

Hening. Kami saling diam.

“Bolehkah aku bertanya, Ya Batikh?” Suaranya masih lirih dan kali ini bergetar. Jemarinya meremas ujung kerudungnya. Kebiasaan.

“Tafadholli!(silakan)” Kuangkat tangan kanan untuk menyilakannya.

SURVIVING SURIA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang