Part 21

1.7K 189 9
                                    

Latakia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Latakia. Sebuah kota pelabuhan dengan pantai yang terindah di Suriah, setidaknya itu yang di katakan Iman, pembantu Saleem. Sudah seminggu aku di sini. Selama itu aku hanya bertugas mendampingi Sang Suami, dua kali.

Yaitu saat bertemu sahabatnya Bibi Maryam (Sahabatnya yang memberitahuku nama itu). Satu lagi, saat bertemu seorang pria tua, yang kalau menurut dugaanku sih, pengacaranya Bibi. Kalian pengin tahu, kenapa aku mempunyai dugaan itu? Iya, aku sesekali mencuri dengar, mereka mengobrol masalah harta warisan dan nama Bibi. Lalu kulihat Saleem menandatangani beberapa lembar kertas. Jadi aku menyimpulkan begitu.

Selebihnya, aku hanya tiduran di kamar. Sangat membosankan, ya? Beberapa kali keluar kamar, kalau ada perintah darinya. Bahkan aku makan pun diantar ke kamar oleh pembantu, yang namanya Iman. Umur wanita itu empat tahun di atasku, tapi masih tampak cantik. Tugasnya mengurus keperluanku, termasuk memberi makan, mendandani, dan mengobatiku.

Iya. Mengobatiku. Ternyata apa yang di katakan Saher (bukan aku) itu belum seberapa. Saleem memang gemar menyakiti orang dengan tangannya. Terutama saat mabuk.

Dalam seminggu ini dia menamparku tiga kali. Tidak seberapa parah sih. Maksudku, hanya memar di permukaan saja, tidak sampai nyeri hingga ke dalam. Lagi pula bekasnya masih bisa ditangani dengan baik oleh Iman, kok.

Biasanya dia akan mengompresnya dengan es lalu mengoleskan salep, yang entahlah, aku tidak tahu nama dan fungsinya. Yang jelas, keesokan harinya, tamparan itu tidak berbekas. Atau berbekas, tapi tidak terlalu kentara. Biasanya akan tertutupi oleh concealer yang dibubuhkan Iman. Dia mendandaniku setiap hari. Sepertinya sih, atas perintah Bos.

Jangan khawatir! Kalau dibandingkan di Abu Dhabi dulu, masih lumayan di sini. Bukankah di sana dulu, aku juga sering disiksa? Malah masih disuruh menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga. Di sini, meskipun disiksa, tapi aku kan tidak mengerjakan pekerjaan lainnya. Gajinya pun jauh lebih besar di sini. Makanya, aku malu kalau mengeluh terus.

Sudah sejak kemarin, aku tidak bertemu Saleem. Biasanya dia akan memanggilku setiap habis makan malam untuk sekedar duduk di depan meja kerjanya. Kalau dia lagi baik, dia akan menyuruhku kembali ke kamar setelah satu jam. Nah, kalau dia lagi mabuk, Dia akan menyuruhku pergi setelah menamparku sekali. Sakit sih, tapi demi dua juta lira, apa boleh buat. Oh ya, aku juga kangen banget sama Murad. Namun, aku baru bisa bertemu dengannya setelah kontrakku berakhir.

"Suria, apa kabar sayang?" Suara Amal mengagetkanku. Wanita itu sudah berdiri di pintu dengan dandanan cantiknya.

Wajahku langsung berbinar menyambutnya. Sumpah, aku merindukan wanita itu.

Kami berbincang-bincang sebentar sambil minum teh. Dia menanyakan beberapa hal soal kegiatanku selama di sini. Semua aku jawab dengan jujur. Toh, aku yakin, dia akan selalu membantuku.

"Kamu kangen kakakmu, ngga?" Tiba-tiba dia melontarkan pertanyaan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Aku mengangguk dan tersenyum malu-malu.

SURVIVING SURIA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang