Aku menghentikan langkah di depan Saleem. Wajahku menunduk memandangi tundakan marmer hitam di depan pintu utama. Sumpah, aku ingin menatap mata hazel itu, tapi takut.
Bukankah Amal tadi bilang, kalau dia ke Paris. Kok, cepat sekali pulangnya. After all, Paris kan hanya tujuh jam pulang pergi (kata Murad). Orang kaya mah, bebas. Selamat Suria, neraka telah menantimu.
“Bagus. Jadi aku membayarmu untuk jalan-jalan, Ya Habibti?” Suaranya yang dingin, mampu membekukan kakiku.
Aku menelan ludah. Sesekali kuberanikan diri melirik ke arahnya sebentar. Mata itu mengerling tajam ke arahku. Bibirnya tersenyum sinis. Mukanya masih merah.
Aku memilih diam. Kalau aku jawab, mungkin dia akan semakin menjadi-jadi. Kuremas-remas jemariku yang berkeringat. Jantungku pun berdegup kencang.
“Masuk!” bentaknya keras. Dengan patuh aku berjalan masuk sambil menunduk.
Saat melewati pintu, satu kakinya menjegalku. Otomatis aku terjerembab ke lantai. Belum sempat aku bangkit, dia sudah menjambak rambutku dengan keras. Rasanya yang sakit sekali, membuat tangisku pecah.
“Maafkan aku, tapi ini semua bukan mauku. Amal yang mengajakku!” jawabanku yang bercampur isakan hanya membuatnya semakin bengis. Persis seperti dugaanku semula.
Dia berhasil menarikku berdiri, meskipun dalam keadaan sempoyongan. Lalu tangan kanannya menamparku. Seluruh wajahku serasa pecah berjatuhan. Gigiku pun terasa ngilu.
“Sudah kubilang berapa kali, hati-hati dengan mulutmu. Namun, rupanya kamu tak mengindahkanku, hah? Kamu pikir, kamu siapa?”
Tangan kirinya mencengkeram daguku dan mendongakkannya Memaksa wajahku menatapnya. Leherku seperti mau patah. Lututku serasa lemas.
“Kamu ingin merasakan tanganku lagi kan, sayang?” Cengkeramannya semakin kuat. Wajah itu mendekat ke wajahku. Mulutnya terbuka, lidahnya menjilati bibir. Aku takut
Ya Tuhan, tolong aku. Aku memang banyak dosa. Aku selalu berbohong. Aku juga tahu, kalau aku jarang berdoa. Tapi aku janji Ya Allah, aku akan memperbaiki semuanya. Tolong aku sekarang, Ya Allah. Airmataku tumpah lagi.
Dengan satu gerakan dia menamparku lagi. Telingaku mulai berdenging. Kepalaku pun pening tak karuan. Wajahku terasa panas dan perih. Aku sudah beberapa kali ditamparnya, tapi tak sesakit ini. Bahkan tamparan Madam pun tak seperti ini.
Ingin rasanya aku berontak dan melawannya. Namun, bayangan wajah Murad selalu muncul di pelupuk mata. Kalau sudah begitu, aku hanya pasrah.
Suria, kamu harus kuat. Kamu sudah berhutang nyawa sama Murad. Jangan menyerah begitu saja, Sayang. Jangan pulang tanpa membawa uang.
Airmataku mengalir berceceran membasahi pipi dan leherku. Dan, tangannya juga. Ingus pun ikut keluar tidak terkontrol. Isak tangisku terdengar lirih. Kedua tanganku hanya menggenggam erat. Tiada daya untuk sekadar menggerakkan dan melawannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURVIVING SURIA (COMPLETED)
Romance"Kumau kamu lepas jilbab itu selama terikat kontrak kerja denganku! Bagaimana?" ujarnya saat aku baru memasuki rumahnya. Sebenarnya hati ini mau menolak, tapi bayangan wajah kakak di balik jeruji, membuatku mengangguk pelan. "Satu lagi, kamu tidak b...