Part 7

2.1K 186 7
                                    

Mobil yang kami tumpangi berhenti di depan bangunan tua tiga lantai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mobil yang kami tumpangi berhenti di depan bangunan tua tiga lantai. Kalau dilihat dari keadaan sekitar, kelihatannya komplek perumahan lawas.

Pria yang tampaknya lebih muda dari Baba itu, membawa kami ke bangunan bernomor dua puluh satu. Setelah paman itu membuka pintu besi hitam yang tak terkunci, kami menaiki tangga kotor berlebar kurang dari satu meter dan berhenti di lantai tiga.

Hanya ada satu pintu di lantai itu. Paman mengetuk pintu yang berwarna putih susu itu beberapa kali. Seorang wanita berkulit putih dengan rambut pirang kecoklatan dan mata biru muncul membuka pintu.

“Mard Khali, keifek hal?(Istri paman apa kabar)” sapa Marwah mencium kening wanita berbaju merah itu.

“Wallahi, bil khair, Ya Umri!” Wanita itu menciumi gadis majikanku. Saat dia menatapku sebentar, aku mengangguk sopan. Paman yang di belakang kami, mempersilahkan kami masuk dulu.

Aku mengikuti Marwah. Setelah membuka sepatu dan melepas abaya. Kami melangkah memasuki ruang utama. Dua ruangan yang berhadapan.

Rumah yang dari luar tampak biasa saja itu, ternyata bagian dalamnya sangat mengagumkan. Mata ini tak henti-hentinya terpana. Parabotan dan pernak perniknya mengingatkanku pada rumah rumah Eropa yang berkonsep Shabby chic.

Tembok bercat tosca muda dengan motif floral. Furniture ruangan yang di dominasi warna putih gading dan soft pastel. Di setiap pojok ruangan ada meja putih kecil yang di penuhi miniatur keramik yang lucu. Bahkan karpet lantai, bantal sofa dan kordennya pun tampak elegan dengan warna yang senada.

“Suria sini, kukenalin mereka padamu!” Suara Madam yang duduk di sofa ujung ruangan mengagetkanku.

Aku berjalan mendekat. Ada seorang pemuda seumuran Omar duduk di sebelahnya, Paman dan istrinya tadi. Seorang lagi, wanita yang wajahnya mirip Madam tapi umur tampak lebih tua darinya.

“Ini adikku, Tamer dan istrinya, Ruba,” kata Madam sambil menunjuk ke arah Paman dan istrinya. Kemudian dia mengalihkan telunjuk ke arah pemuda di sebelahnya, “Ini anak mereka, namanya Thoriq. Dia lebih muda setahun dari Omar.”

“Terus yang paling mirip denganku ini, Madam Hanna, kakakku satu-satunya. Kami tiga bersaudara,” lanjutnya.

Aku beranjak menyalami kedua wanita itu, lalu mengangguk sebentar ke dua pria. Orang sini memang sangat suka membanggakan kerabatnya. Biasanya mereka akan mengenalkannya dengan wajah yang berbinar-binar seperti Madam tadi.

Jam di tanganku menunjukkan pukul satu. Mataku sudah berat sekali. Pundak sampai telapak tangan terasa pegal semua. Kaki ini seakan-akan berteriak minta diselonjorkan. Dalam hati aku memohon agar diistirahatkan. Ya Allah, aku lelah. Dua koper dan tangga itu benar-benar menguras tenagaku.

Suria, ruhi nami!(pergi tidur)” Allah mengabulkan doaku melalui perintah Madam.

Dengan malu-malu aku menjawab, “Syukron!”

SURVIVING SURIA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang