Part 27

1.6K 187 17
                                    

Murad PoV

Murad PoV

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Murad PoV

Wajah pria setengah baya itu tampak berbinar. Mungkin karena baru saja dibesuk oleh keluarganya. Aku tadi sempat makan sepotong kue buatan Sang Istri. Sangat enak.

“Parcayalah padaku, Ya Wallad!(anak laki-laki) Menikah itu mudah, indah dan berkah. Yang membuatnya susah itu pelakunya, bukan aturannya,” ujar Malik sambil menyelonjorkan kaki di karpet kusam.

Kuambil napas dalam-dalam.

“Aku takut mengecewakannya, Kak! Aku ... khawatir tidak akan bisa membahagiakannya.”

Dengan tangan menepuk-nepuk bahuku, ia berkata, “Kamu itu, belum njalani sudah takut duluan. Tuhan itu Maha Kaya. Dia mengatur rejeki setiap makhluknya, termasuk istri dan anak-anakmu kelak.”

“Aku dulu juga berpikiran sepertimu, tapi setelah berkeluarga, aku baru tahu kalau istri dan anakmu mempunyai rezeki sendiri. Tampaknya saja, datang darimu. Padahal, tanpa kamu kasih pun, mereka bisa bertahan. Berkah itu saat satu dibagi dua sama dengan satu,” sambungnya lagi.

“Begitu ya, Kak? Jadi apa yang perlu kupersiapkan untuk menikah, secara aku masih tersesat di sini?” tanyaku penasaran.

Selama ini aku selalu menghindari topik ini. Hingga seminggu yang lalu, aku bertemu dengan Malik, pria paruh baya yang menjadi teman sekamarku. Dia masuk ke sini juga dengan alasan yang sama denganku. Bedanya, dia punya anak istri dan aku tidak.

Dia kelihatan sangat bangga dengan keluarganya. Setiap saat, dia selalu bercerita tentang mereka.

“Mulailah dari niat, siapkan niatmu. Lalu tentukan siapa yang kamu mau. selanjutnya, pikirkan langkah-langkah untuk mendapatkannya. Bagaimana, kamu sudah punya calon?” Matanya memicing, seakan berharap dugaannya tidak salah.

“Sudah, Kak!”

“Siapa? Kerabat, teman kecil, atau saudara temanmu?” bisiknya. Wajah itu mendekat, tak sabar menanti jawaban. Atau pengakuan.

“Adikku.”

Wajah Saruyi terlintas jelas di benakku. Oh Tuhan, aku merindukannya. Sudah lama dia tak datang. Apakah dia sibuk? Apakah dia merindukanku juga. Terakhir kali melihatnya, aku sangat bahagia dan bersyukur. Dia tampak sehat dan cantik. Gadis itu bahkan mulai belajar ber-make up.

“Apa? Adik? Apakah agamamu membolehkan pernikahan sedarah?” Mata pria itu mendelik, seakan-akan mau melompat keluar dan menerkamku.

“Maksudku adik angkat,” Aku memutar mata dua kali.

“Bagus ... bagus, katakan niatmu itu padanya dengan segera. Kapan dia datang?”

“Aku ngga tahu. Dia bekerja di Latakia, jauh dari sini.”

Malik mengangguk-angguk dengan tangan kanannya menepuk-nepuk pundakku.

Dia betul. Aku harus mengutarakan rasa yang terpendam lama di dada. Perasaan ini tumbuh sejak awal-awal kami bersama. Makanya semakin kesini hanya semakin menyiksa.

SURVIVING SURIA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang