Renjun menyuapkan banana split ke dalam mulutnya selagi netra memandangi sosok tampan di hadapannya.
Tidak, bukan Renjun yang mengatakan sosok itu tampan, melainkan orang lain. Renjun masih lurus, ingat itu.
Orang itu--Jeno--sedari tadi hanya mengaduk-aduk kuah ramen-nya dengan wajah keruh, bibir yang ditekuk ke bawah, dan pandangan kosong.
Renjun sedari tadi menunggu Jeno mengeluarkan suara. Sejak mereka bertemu di kafe ujung jalan ini sampai sekarang, Jeno tak mengatakan apapun selain menyebutkan menu makanan yang ia pesan. Renjun bingung, jelas. Tadi pagi Jeno mengajaknya untuk bertemu. Katanya, sih, rindu. Tapi Jeno mengutarakan rindu itu dengan bahasa yang tersirat.
Jangan lupa, Renjun adalah orang yang peka.
"Banana split-ku sudah hampir habis," Renjun meletakkan sendok ke atas meja kemudian menyilangkan lengannya, "sampai kapan mau diam seperti itu?"
"Ck," Jeno mencebik keras, "aku sedang bad mood."
"Tahu, kok," balas Renjun, "kelihatan. Bisanya, kan, kau tersenyum sampai matamu itu hilang atau memasang wajah idiot."
Jeno menyeruput mie-nya, mengunyah sebentar lalu menjawab, "masalah Jaemin. Ck."
Renjun menghela napas panjang. Pasalnya sampai hari ini, Jaemin sama sekali belum mengontaknya lagi. Mulai dari hari dimana Renjun menjenguk Jaemin sampai detik ini, ketika dirinya tengah menikmati banana split.
Renjun mendesah panjang, "ada apa? Tidak seperti biasanya kalian bertengkar."
"Justru kami sering bertengkar makanya kami cukup dekat," Jeno menatap kosong kuah ramen-nya, "namun kini semenjak kami beda tempat, beda situasi, rasanya kami sedikit..."
"Jauh?" Renjun mengambil kata yang dihilangkan oleh Jeno.
Jeno mengangguk, "apa karena aku bukan lagi teman sebangkunya maka dari itu ia seperti tak membutuhkanku lagi?"
Renjun terdiam, menunggu kelanjutan kalimat Jeno.
"Kemarin aku berpapasan dengannya. Aku tengah duduk di depan minimarket, menunggu eomma selesai berbelanja saat ia lewat," cerita Jeno, "aku memanggilnya, jelas. Ia hanya menengok, melambai singkat kemudian pergi, seakan tak ada hasrat sama sekali untuk menghampiriku."
Jeno meletakkan sumpit di meja, nampak sekali bahwa dirinya sudah tidak berminat untuk makan, "sama sekali tak bertanya tentang apa yang sedang aku lakukan, tak bertanya kabarku. Ia hanya lewat begitu saja, seperti angin lalu."
Renjun melihat senyum kecut Jeno, "apakah aku hanya teman sebangkunya saja dulu? Setelah lulus, setelah ia menemukan teman sebangkunya yang lain, aku dibuang begitu saja?"
Renjun menatap nanar Jeno, tak tahu harus berkata apa. Terkadang, diamnya kita justru dapat membantu mereka. Mereka mungkin saat ini hanya ingin didengar tanpa butuh ucapan simpati remeh tanpa rasa tulus. Diam adalah opsi yang terbaik, terkadang.
"Aku muak, Jun," tatapan Jeno menajam, "muak."
Ini dia. Kekhawatiran Renjun yang menjadi kenyataan. Kekhawatiran yang membuat Renjun tak dapat memejamkan mata sepanjang malam terjadi pada hari ini. Hari dimana perlahan persahabatan mereka mulai mengikis, terganti oleh rasa kecewa dan pengkhianatan yang mendalam.
Renjun tersenyum kecil. Senyum yang memiliki arti tersendiri baginya. Renjun tak bisa berkata banyak. Terlebih lagi disaat ia merasakan perasaan yang sama seperti Jeno. Hanya saja, perasaan itu mati-matian ia tepis.
"Memang," kata Jeno, "ada saatnya dimana orang akan menunjukkan sifat aslinya. Sifat yang murni tanpa dibuat-buat. Seharusnya aku tahu dimana batasku. Seharusnya aku tahu dimana batasanku dengannya."
Renjun mendengarkan dalam hati. Ragu-ragu untuk membenarkan.
Ayo mulai nambah kecepatan,
50 km/jamPen cepet-cepet tamat cuma ntar akunya yg ga rela :(
Nathelhan, dimohon side story nya dilanjut :)
KAMU SEDANG MEMBACA
HOME; Renjun + 00 Line NCT [✓]
Fanfiction[COMPLETE] Ingatlah bahwa aku akan selalu mendukungmu disini, ingatlah bahwa aku akan selalu menjadi rumahmu. cover by: athaeral