Mereka terduduk dalam ekspresi yang sama, hening yang sama, dan tanpa sadar pakaian yang sama. Segala hidangan di depan mata mereka dihiraukan, hanya dijadikan pajangan saja. Mata mereka sama-sama memerah dan sembab, tanda telah menangis.
Mereka telah mengalami kejadian yang sama sekali tak pernah mereka duga sebelumnya. Mereka tak pernah membayangkan jika segalanya akan berakhir seperti ini.
"Tak ada yang pernah menyangka," Haechan membuka pembicaraan, "bahwa kita dipertemukan dalam suasana berduka seperti ini."
Jeno mengalihkan pandangan dari tangan yang terbalut pakaian hitamnya, memandang sosok-sosok di depannya.
"Memang benar apa yang dikatakan orang," Jeno membalas, "kau akan menganggapnya penting dikala ia telah pergi."
"Namun siapa sangka pula," Jaemin tersenyum sendu, "kepergiannya dapat menyatukan kita."
Bertiga, Jaemin, Jeno, dan Haechan menghela napas penuh beban. Seulas senyum yang sama terukir di bibir mereka.
"Maaf," Jaemin berucap dalam nada bergetar, "seharusnya sedari dulu aku mengatakannya. Memang aku yang melanggar janji. Memang aku satu-satunya yang berubah."
"Tidak," Haechan menggeleng, "semuanya sama. Semuanya berubah karena keadaan juga berubah. Kita tidak saling bertemu, maka dari itu timbul kecurigaan di antara kita."
"Seperti kata Mark-hyung," Jeno menambahkan, "hubungan itu seperti burung. Jika kita menggenggamnya dengan erat, maka ia akan mati. Jika kita nenggenggamnya dengan renggang, maka ia akan pergi. Namun jika kita menggenggamnya dengan rasa penuh kasih sayang, maka ia akan tinggal bersama kita."
"Pada awalnya kita saling mengekang satu sama lain, kita saling curiga," Jeno melanjutkan, "bukan salah Jaemin jika ia jatuh cinta, itu wajar, bukan? Namun kita justru menyalahkannya, membesar-besarkannya."
"Kemudian tak lama, kita saling menjauh," Haechan menambahkan, "dengan mencurigai satu sama lain, kita mulai merenggangkan diri, membuang rasa saling percaya. Hingga pada akhirnya, hubungan kita terlepas dari genggaman kita."
Bertiga, mereka kembali menghela napas penuh penyesalan. Memang benar, penyesalan selalu datang terlambat dan dalam keadaan tak terduga. Ketiganya saling menggeleng kemudian saling menebar senyum penuh damai.
Pikiran mereka melayang kepada sebuah sosok yang amat berjasa. Sosok itu dengan atensinya telah menyatukan mereka, membuka mata mereka untuk kembali bersama lagi. Di saat mereka berpikir bahwa semuanya akan berakhir, sosok itu membuang segala pemikiran itu dengan caranya yang tak terduga.
Sosok itu membuat rasa muak kembali menjadi rasa percaya. Sosok itu membuat masa bodoh menjadi peduli. Sosok itu mengembalikan rasa yang telah hilang dari ketiganya.
"Jadi..." Jaemin mengulurkan tangan, "damai?"
Senyum cerah di wajah Haechan terukir dengan cepat. Secepat senyumannya, tangannya ia tumpukan di atas tangan Jaemin, menyambut ajakan damai dari lelaki itu.
"Damai," ucap Haechan kemudian menatap Jeno, meminta jawabannya.
Jeno memandang kedua tangan yang tertumpuk itu. Ia kemudian memandang langit-langit, membendung air mata yang hendak keluar. Di saat ia menatap ke depan lagi, ia menemukan gurat senyum tulus dari kedua temannya itu.
Dengan hati yang dipenuhi rasa haru, Jeno ikut menumpukan tangannya, membalas senyuman yang diberikan Haechan dan Jaemin padanya.
"Damai," putus Jeno.
Pandangan ketiganya kini beralih pada satu sosok yang sedari tadi hanya diam memandangi mereka. Dengan tangan terlipat di depan dada, wajahnya menunduk, tak mau memperlihatkan air mata yang sempat jatuh mengenai kemeja hitamnya. Ia memang merasa kehilangan, namun di satu sisi, ia merasa lengkap.
"Renjun?"
Pandangan Renjun kembali menuju lagi ketiga temannya. Ketiganya memberi senyuman cerah walau mata mereka masih meyiratkan kepedihan yang sama.
Tangan Renjun perlahan terulur, memberikan tumpukan terakhir sekaligus menyempurnakannya.
Dengan senyum yang perlahan hadir dan dengan hati yang sangat mantap, Renjun berucap,
"Damai."
Dikiiiit lagi...
Mau end :)
KAMU SEDANG MEMBACA
HOME; Renjun + 00 Line NCT [✓]
Fanfiction[COMPLETE] Ingatlah bahwa aku akan selalu mendukungmu disini, ingatlah bahwa aku akan selalu menjadi rumahmu. cover by: athaeral