17. Ketika Tak Ada Lagi Kata yang Terucap

2K 285 16
                                    

Skripsi Renjun telah diterima dan sidang Renjun berjalan dengan sukses. Renjun tinggal menunggu wisuda saja sekarang. Gelar cumlaude sudah hampir ia dapatkan.

"Wajib dirayakan ini," celetuk Hyunjin yang anehnya terlihat lebih senang daripada Renjun sendiri, "barbeque lagi?"

Renjun terlihat menimang-nimang, "hm, uangku sepertinya tersisa cukup banyak. Waktu juga sudah ada, mengapa tidak?"

"Yeah!" Hyunjin mengepalkan tangan tinggi-tinggi, "pastinya ada yang membayariku, kan?"

Renjun menatap datar Hyunjin yang tengah menaik-turunkan alisnya serta memasang wajah jahil.

"Dagingnya saja, ya," balas Renjun, "minuman beli sendiri."

Hyunjin menepuk tangan senang, "siap, Tuan Muda. Ayo kita pergi sekarang!"

Jarak antara kampus dengan restoran barbeque langganan Hyunjin cukup jauh. Sekitar tiga puluh menit jika ditempuh dengan kendaraan bermotor. Hyunjin hari ini membawa mobil, sehingga Renjun tak perlu mengeluarkan ongkos bis lagi.

Restoran cukup ramai. Desain interior restoran itu pasti cukup menarik pengunjung. Penataan yang unik serta makanan yang mampu memuaskan lidah pastinya laku di kalangan pasar. Tak heran mengapa Hyunjin amat senang pergi ke sana. Seperti tak sadar saja bahwa harga menu di sana setimpal dengan rasanya yang fantastis.

"Semoga antrian tidak panjang. Semoga tidak lama," Hyunjin bergumam seraya turun dari mobil.

Lonceng kecil serta ucapan selamat datang memenuhi indera pendengaran Renjun. Hidungnya pun mendapat suguhan aroma sedap. Perut Renjun berbunyi, mengungkapkan bahwa dirinya sudah terjerat hanya melalui aroma masakan saja.

"Pesan porsi besar saja, ya?" Renjun bertanya pada Hyunjin yang berjalan di depannya seraya melihat sekitar, "mengingat porsi makanmu yang banyak, lebih baik kita--"

Ucapan Renjun terputus begitu menyadari Hyunjin berhenti melangkah dengan tubuh yang berubah kaku. Renjun mengikuti arah pandang Hyunjin dan menemukan dirinya berada dalam posisi yang sama seperti Hyunjin.

Karena tepat di hadapannya, berdirilah Jaemin dengan Felix di sampingnya.

🐾

Renjun menatap Hyunjin yang tengah menatap tajam Felix. Suasana canggung yang mencekam amat terasa di antara mereka yang duduk tak jauh dari tempat Renjun dan Jaemin berada.

Ya, Hyunjin tengah bersama Felix sekarang, menyelesaikan segala urusannya sama seperti Renjun dengan Jaemin. Bedanya, Hyunjin secara blak-blakan menunjukkan rasa tak sukanya pada Felix, Renjun menunjukkan rasa tak sukanya pada Jaemin melalui heningnya. Renjun hanya fokus pada teh chamomile yang datang lima menit yang lalu.

Renjun sebenarnya sudah masa bodoh, terserah Jaemin mau menjelaskan sesuatu atau tidak. Lagipula semua sudah terlambat. Susah untuk mendapat kepercayaan Renjun lagi.

"Renjun?"

"Hm," Renjun merespon singkat tanpa mengalihkan pandangan dari Hyunjin dan Felix.

"Marah?" Jaemin melipat tangan di depan dada.

"Siapa bilang?" Renjun cukup terpancing melihat gestur Jaemin.

"Sikapmu," Jaemin menatap dalam Renjun, "sikapmu yang berkata padaku bahwa kau sedang marah."

"Oh," lagi, Renjun membalas singkat.

Helaan napas kesal terdengar amat jelas oleh telinga Renjun. Namun Renjun tak peduli. Untuk apa ia peduli jika Jaemin saja tidak? Buang-buang tenaga namanya.

"Tidak mau menjelaskan sesuatu?" Pertanyaan Jaemin membuat kening Renjun berkerut.

"Tidak terbalik?" Renjun kini menatap Jaemin sinis, "tidak ingat janji manis yang kau ucapkan? Cih."

"Bukannya kau?" Jaemin membalas dengan nada tak kalah sarkas.

Renjun menatap Jaemin tajam sebelum memutus pandangannya dan meletakkan cangkirnya hingga berbunyi.

"Ryeon dan aku tak ada hubungan," kemudian Renjun tersenyum miring, "lihat? Selalu saja aku yang menjelaskan."

Jaemin menghela napas panjang penuh putus asa. Renjun kembali menatap sarkas Jaemin. Jujur, ia tak suka ini. Sekian lama tidak bertemu, ia dan Jaemin malah dipertemukan dalam keadaan seperti ini. Kadang dunia memang kejam.

"Ryeon suka kau," ucap Jaemin pahit.

"Lalu?" Renjun mendengus, "yang penting aku biasa saja dengannya."

Dari tempatnya, Renjun bisa melihat gurat damai dari wajah Hyunjin dan Felix. Nampaknya keduanya telah menemukan titik temu dan memilih saling memaafkan. Renjun sekarang melihat Hyunjin tersenyum ditambah gestur Felix yang nampaknya cukup lega.

Renjun mulai bertanya-tanya, butuh berapa lama untuk berdamai seperti itu?

Renjun menatap nanar Jaemin di hadapannya, mulai mengandai-andai bahwa sekarang mereka berada di posisi Hyunjin-Felix. Menyadari bahwa segala imajinasinya hanyalah semu, Renjun kembali menatap Hyunjin dan ternyata tatapannya dibalas.

"Sana berbaikan." Begitu bisik Hyunjin pada Renjun.

Tidak semudah itu, Renjun tersenyum kecut, kami bahkan belum menemukan titik temu.

"Ya sudahlah," Renjun memutuskan secara sepihak, "jika begini terus, maka selamanya kita akan bermusuhan. Jika memang ini yang kau mau, ya sudah. Aku tak bisa berbuat banyak."

Renjun menghabiskan tehnya dalam sekali teguk kemudian bergerak membereskan barangnya.

"Siapa yang mempersilakanmu pergi?" Masih dengan tangan di depan dada, Jaemin menyahut, "jangan seenaknya pergi."

Jika amarah Renjun sudah berada di puncak, biasanya lelaki itu benar-benar menjadi diam dengan mata yang memerah, antara memendam amarah atau sesak di dada.

"Jun, aku tahu, aku yang salah," ucapan Jaemin selanjutnya membuat Renjun terperanjat, "maaf, aku..."

Selanjutnya Jaemin tak bisa mengucapkan apapun lagi dan selama apapun Renjun menunggu, ia tak pernah mendengar lanjutan perkataan Jaemin. Hanya wajah penuh sendu yang keduanya perlihatkan, tak ada lagi kata di antara mereka.



 Hanya wajah penuh sendu yang keduanya perlihatkan, tak ada lagi kata di antara mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Udah mau end nih, semangatin aku dong :)

HOME; Renjun + 00 Line NCT [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang