"Huang!"
Sepasang kepala menoleh dengan cepat mendengar panggilan dari Ryeon di ujung pintu. Siapa lagi kalau bukan Renjun dan Hyunjin. Keduanya memiliki marga dengan cara pengucapan yang sama. Yah, salah Ryeon juga sih, mengapa ia memilih memanggil marga dari pada nama panggilan.
"Eh, Huang Renjun maksudku," lanjut Ryeon sambil tersenyum kecil.
Hyunjin mencibir, kesal juga rasanya. Seperti diberi harapan palsu saja.
"Jadi bagaimana?" Renjun masih sempat bertanya kepada Hyunjin, "masih belum paham?"
"Paham, paham," balas Hyunjin dengan kepala mengangguk agresif, "aku ini tak sebodoh yang kau kira, tenang saja."
"Ya memang kau tidak sebodoh itu," timpal Renjun seraya membereskan tasnya, "tapi amat bodoh."
Hyunjin langsung memasang gestur hendak melempar ponselnya, namun ia mengurungkan niatnya mengingat berapa banyak uang yang ia keluarkan demi mendapat benda pipih itu.
"Sana pergi, temui Ryeon. Sepertinya penting," ucap Hyunjin kemudian melambai singkat.
"Ada apa?" tanya Renjun begitu kakinya sampai di hadapan Ryeon.
"Ada yang mencarimu. Laki-laki, katanya teman sekolahmu dulu," jawab Ryeon.
Renjun terdiam sejenak, mereka-reka siapa yang mau susah-susah menemuinya, "dia menunggu dimana?"
"Gerbang depan."
Renjun bukan tipikal yang berbasa-basi jika berbincang dengan perempuan. Setelah ia mengucapkan terima kasih, Renjun langsung melesat menuju gerbang depan.
Benar yang dikatakan Ryeon. Di sana ada seorang lelaki memakai hoodie merah yang tengah menunduk memandang ponsel. Dilihat dari rambut lelaki itu, Renjun sudah bisa memastikan siapa lelaki itu.
Renjun menghela napas berat sesaat, menguatkan hati, barulah ia melangkah ke sana, menemui lelaki itu.
"Ren-Renjun," lelaki itu menyapa Renjun dengan gugup.
Renjun menjadi tidak tega. Bukan dia yang seharusnya mendapat sikap dingin Renjun.
"Jadi ada apa, Haechan?"
🐾
Bisa Renjun katakan bahwa sejak tadi Haechan menatapnya takut-takut. Padahal Renjun sudah bersikap amat santai dengan cappuchino di tangannya. Dari tadi Renjun hanya menunggu Haechan untuk mengutarakan isi pikirannya.
"Jangan diam seperti itu," akhirnya Haechan berucap, "seram," cicitnya kemudian.
"Seram darimananya?" Renjun meletakkan cangkirnya kemudian menatap Haechan.
"Ya, itu..." Haechan mengusap tengkuk, "kau itu tidak biasa diam. Sekali diam kau marah."
Dalam hati Renjun tersenyum kecil mendengar penuturan Haechan. Renjun ingat semasa sekolah dulu, ia pernah mendiamkan teman sekelasnya lantaran buku favoritnya dirusak oleh teman sekelasnya itu. Tidak mudah mendapat amarah dari Renjun. Ia hanya diam tanpa memedulikan orang yang ia marahi. Namun tak lama setelah itu, Renjun kembali sepeti biasanya tanpa melupakan kesalahan dari orang itu untuk selamanya.
"Aku memang sedang ingin diam saja," balas Renjun, "aku tidak marah padamu, kok."
Haechan menatap Renjun lama, menilai ekspresi Renjun. Ketika ia menemukan kejujuran di mata Renjun, barulah Haechan menghela napas yang sejak tadi ia tahan.
"Aku takut jika kau berubah," kata Haechan, kali ini nada bicaranya lebih santai, "dua minggu kau tidak bisa dihubungi. Aku takut kau dalam masalah atau sesuatu."
"Seminggu kemarin aku sakit," seketika Renjun ingat bahwa ia dilarang minum kopi oleh Eiran, "tapi tenang, aku sudah sembuh, kok. Masalah ponsel, ponselku sedang direparasi."
"Rusak?"
Renjun melirik ke kiri, "em, tidak sengaja terbanting."
"Pfft," Haechan menahan tawa, "masih saja tidak sayang ponsel. Aku masih ingat saat kita di kereta menuju Busan. Entah apa yang terjadi namun kau menjatuhkan ponselmu begitu saja."
Renjun terkekeh mengingat semuanya, "tanganku tiba-tiba licin."
"Dan juga, jangan lupakan Jaemin yang sepanjang perjalanan membayangkan jika terjadi adegan dalam film Train to Busan," Haechan melanjutkan disela kekehannya dan dibalas anggukan dari Renjun yang ingat semuanya.
Puas tertawa, Renjun kembali meneguk kopinya sementara Haechan memutar-mutar sendok pelan dengan pandangan yang menerawang.
"Jun," panggil Haechan lirih, "tidak rindu kita yang dulu?"
Pandangan Renjun menajam seiring dengan rahangnya yang mengeras, "memangnya bisa kita yang sekarang kembali menjadi kita yang dulu?"
Haechan membuang pandangannya ke luar.
"Aku tidak terlalu yakin, Jun, namun patut untuk dicoba. Memang kemungkinannya kecil tapi setidaknya kita coba," balas Haechan.
"Ck, Haechan," timpal Renjun dingin, "jangan selamanya menjadi baik. Untuk apa kita berusaha untuk orang yang sama sekali tidak peduli?"
Pandangan Haechan bertabrakan dengan Renjun, "apa yang merubahmu, Jun? Kau tidak seperti--"
"Biasanya?" Renjun menyela cepat, "ini aku yang sudah muak akan semuanya. Ini Huang Renjun yang telah lelah menjadi satu-satunya orang baik. Ini Huang Renjun yang sudah tidak peduli akan semuanya. Ini Huang Renjun yang dimana di dalam dirinya sudah meragukan kesetiaan. Ini adalah Huang Renjun yang sekarang, yang sudah berganti fase menjadi muak, bukan pure lagi."
Untuk pertama kalinya, Renjun mengutarakan semua isi hatinya. Ini yang pertama kalinya Renjun berhenti menjadi pendengar yang baik.
Karena akan ada fase dimana orang akan berubah disaat ia dikecewakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOME; Renjun + 00 Line NCT [✓]
Fanfiction[COMPLETE] Ingatlah bahwa aku akan selalu mendukungmu disini, ingatlah bahwa aku akan selalu menjadi rumahmu. cover by: athaeral