14 - Kak Minho ("Kamu nggak ada yang jaga,")

704 98 2
                                    

Aku juga sama seperti gadis kebanyakan yang tidak bisa tidur sampai detik ini. Benar-benar mengantuk. Sangat malah. Tetapi entah mengapa mataku tidak bisa terpejam walau sebentar, bahkan punggungku pegal linu.

01:38am. Angka yang terpampang secara digital dari jam di atas meja nakas samping kasur. Tenggorokkanku yang mendadak kering kerontang akhirnya menang melawan malas untuk ke bawah sekedar mengambil minum.

Oke, aku akan memberanikan diri. Lampu dapur yang sengaja dihidupkan ayah setidaknya memberiku secercah harap. Tidak gelap-gelap amat. Baru saja membuka kulkas, derap langkah seseorang membuyarkanku. Ditambah erangan pelannya yang kentara.

"Kak?" Aku berbalik sambil menegak air. Bersamaan dengan itu, Kak Minho memasuki dapur—masih mengenakkan pakaian dari kampusnya. "Kenapa baru pulang? Jam berapa ini?"

"Maaf, kakak tadi habis sidang istimewa sama organisasi yang lain. Presma kakak mau resign." Ujarnya sambil mendekat, mengusap kepalaku lembut, "Kamu kebangun?"

"Tidur aja belum."

"Tumben? Biasanya juga jam 10 pulang osis udah molor." Kak Minho kini mengambil alih kulkas dan menyuruhku duduk di bar. Aku memperhatikannya, Kak Minho berbeda—sedikit.

"Nggak ngerti. Ini badannya kayak capek, pegel gitu deh." Laporku.

"Olahraga lah, sering dikasi tahu juga. Kamu punya libur sabtu minggu, coba jogging di lapangan depan atau nggak gym yang ringan-ringan. Paling minimal yoga, deh." Hah, Kak Minho.. dia memang maniak jika itu menyangkut kebugaran tubuhnya.

"Sendiri, kak.. jomblo banget rasanya. Nggak ada yang aku ajak buat olahraga. Jatuhnya mager."

"Teman-teman kamu dong, ada tiga itu, kan?" Kak Minho memasukkan pisang beku yang dia ambil dari freezer ke dalam blender, kemudian buah naga merah yang sama bekunya. "Eh, atau siapa sih? Wonwoo gitu? Pacarmu, bukan? Ajak dia lah. Romantis tahu kalau olahraga bareng pacar gitu."

"Kak.." Aku memutar bola mata malas, "First of all, temen-temenku lebih milih on diet ketimbang olahraga, serius deh. And the second one, Wonwoo bukan pacarku dan nggak mungkin aku ajak dia olahraga."

"Bohong." Sergahnya sambil tertawa. Omong-omong, dia sedang membuat jus untuk dinikmati pada jam larut begini. Kebiasaannya kalau tidak makan dari sore. "Seongwoo bilang kamu pacaran sama Wonwoo."

"Lebih percaya dia ketimbang adikmu sendiri?" Sindirku. Kak Minho memang masih dekat dengan Seongwoo. Untuk beberapa urusan yang salah satunya soal Amor. Pada masanya, Kak Minho orang yang memimpin komplotan itu. 4 tahun lalu.

"Bukan gitu, sayang. Kok baperan sekarang?" Kak Minho sekarang duduk di sebelahku, "Kamu nggak pernah cerita apa-apa lagi sama kakak sejak putus dari Seongwoo. Kenapa, sih?"

"Siapa suruh sibuk? Itu bener kuliah apa jadi kuli?"

Kak Minho terbahak sebelum akhirnya mengusap lagi belakang kepalaku. "Maaf ya kalau punya kakak sibuk. Tapi sekarang kamu ada sesuatu yang mau diceritain, nggak? Pasti ada alasan kamu belum tidur."

Giliranku yang ketawa, "Is this like.. 2am thought, kak?"

"Kamu boleh bilang gitu." Kak Minho tersenyum.

Di penghujung malam itu, akhirnya aku mengungkapkan semuanya pada Kak Minho. Yang diawali dengan Jeon Wonwoo dan diakhiri oleh nama yang tertera pada hapenya yang berdering di Starbucks tadi.

"Kamu kasmaran, ya." Kata Kak Minho yang membuatku termangu. "Nggak mungkin lah sampai jam segini nggak bisa tidur kalau bukan karena kepikiran sama cewek yang telepon Wonwoo."

Menyerah, aku mengakuinya.

***

Pagi ini, bukan lagi otakku yang lumpuh, tetapi mata. Sungguh, kemarin aku dan Kak Minho tumben ngobrol sampai jam 3 pagi—atau mungkin lebih di kursi bar, sambil menikmati frozen smoothies yang dia buat. Parahnya lagi aku mengiyakan padahal punya jadwal untuk sekolah esoknya. Ah, ralat, tetapi 6 jam kemudiannya.

Kak Minho sih, santai, dia bilang mau bolos.

Soal mataku tadi, aku benar-benar susah membukanya demi memfokuskan diri terharap materi matematika. Sesekali juga aku merasakan pening yang terkadang datang tapi kembali lagi. Akhirnya satu jam kemudian, aku diantar Jihyo dan Jennie menuju UKS untuk tidur. Dahyun katanya mau beli makanan dari kantin.

"Kak Minho apa kabar, deh? Masih sama pacarnya yang dulu?"

"Makin langgeng sih sama Kak Eunji." Itu nama pacarnya Kak Minho, "Tapi semenjak kapan gitu... hm, kayaknya waktu Kak Minho naik semester genap ini dan kepilih wakil presma aku jarang ketemu Kak Eunji lagi. Dibawa kerumah pun—enggak."

Kita jadinya ngobrol tentang Kak Minho dan Kak Eunji yang hubungan mereka sudah jalan hampir 2 tahun. Mereka kenal waktu SMP dan berakhir bersama sampai detik ini. Tapi entahlah, aku heran juga karena Kak Eunji semakin jarang main ke rumah juga tidak ada pesan apa pun kepadaku.

"Aku tidur, ya." Mataku sudah tidak bisa diajak kompromi. Terlalu berat dan kepalaku juga kian pening.

"Makan dulu, Dahyun sebentar lagi selesai." Sergah Jennie.

"Kok dia lama sih?!" Jihyo kayaknya mau mencari Dahyun, cewek itu bangun dari ranjang UKS menuju pintu. Dari yang aku lihat, Jihyo berhenti karena pintu UKS yang terbuka.

"Eh, sorry lama, tadi aku malah beli nasinya keluar sama dia." Dahyun menunjuk orang di sebelahnya yang napasnya tersengal. 3 orang dari kami menatapnya kaget. Jennie memandangku sebentar sebelum kembali memfokuskan atensinya kepada Dahyun dan Wonwoo yang berdiri.

"Kenapa?" Tanya dia yang sudah mengambil posisi di tempat Jihyo. "Kak Dahyun bilang kamu di UKS lagi sakit kekurangan tidur. Kenapa?"

Mataku melirik Dahyun sejenak lalu beradu pandang lagi dengan Wonwoo, "Eng-nggak.. hehe," Ah, rasanya canggung.

"Mm.. kita tinggal aja, ya? Bentar lagi kayaknya bel masuk kelas." Izin Jennie dan belum sempat aku cegat, mereka ber-3 sudah benar-benar keluar UKS. Hanya ada aku, Wonwoo, sebungkus nasi, dan atribut lainnya di ruangan ini.

"Gak lanjut belajar?" Aku nanya ke dia yang maksudnya supaya aku sendirian di UKS. Entahlah, tetapi semenjak Wonwoo mengangkat telepon seseorang itu—dan kami tidak chat sampai pertemuan ini—rasanya ada jarak.

"Kamu nggak ada yang jaga," Wonwoo membuka bungkus makan yang katanya dia beli di luar dengan Dahyun. "Mau makan atau gimana?"

"Tidur aja. Aku jam 3 kemarin belum tidur, habis cerita sama Kak Minho."

"Kepalanya pusing?"

"Sedikit."

"Jadinya ini nggak akan makan?" Tuhan! Wonwoo senyum lembut sekali—sangat tampan.

"Nanti bisa kumakan," Aku balas senyumnya kemudian mencari posisi untuk tidur, "Thank you, Wonwoo."

"Sama-sama," Wonwoo sedikit menyingkir agar bisa menarik sisa selimut yang tidak sengaja terduduki olehnya, membungkus kakiku perlahan dengan benda itu. Perlakuannya persis seperti laki-laki dermawan, "Aku nggak akan ninggalin kamu. Selamat tidur,"

Dalam pejaman mataku, dalam hati yang terdalamku, dalam segala harapku, aku ingin Wonwoo untuk berbicara lebih dari ini. Mengatakan bahwa yang meneleponnya saat itu mungkin keluarga atau kerabat, meminta maaf tidak bisa chat setelahnya karena kuota habis atau apa.

Setidaknya aku akan kian menghangat dengan penjelasannya itu. Nyatanya, Wonwoo memilih bungkam sejuta bahasa—sejuta aksara.

***
TBC

Toward Dusk | wonwoo Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang