19 - Kopi kita ("Pulang aja, aku malu.")

696 92 9
                                    

Jika dalam sebuah lagu itu, tersemat lirik: 'Kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah' maka pengimplementasian dari kalimat tersebut, sekurang-kurangnya apa yang barusan terjadi.

Mungkin bisa dibilang kedatangan Seokmin salah, atau bisa juga pelukanku dan Wonwoo yang salah. Tapi aku tidak perlu mencari siapa yang benar-benar salah, setidaknya karena itu tidak menambah runyam kondisiku yang hancur. Wonwoo pulang setelah mengatakan semua akan baik-baik saja dan mengusap kepala belakangku. Tersisa Seokmin yang berdiri penuh kebingungan.

"Apa kabar?" tanya dia yang aku kira Seokmin akan bertanya lebih soal Wonwoo. "Aku langsung kepikiran soal kamu begitu dengar kabarnya."

"As you see, Seokmin," aku mengajak dia untuk duduk di teras—tempat ayah dan Wonwoo sempat bercengkrama, "Bingung harus jawab gimana."

Cowok yang sekarang setara adik kelasku ini terkekeh, "It's okay to be not okay while everything is not okay like usual."

"Dampak Kak Minho pergi sebegitu besarnya," aku kembali digandrungi sedih yang bahkan belum sempat sirna, "Ini hari pertama tanpa dia, dan keluargaku udah porak-poranda."

"Aku nggak tahu kalau Kak Minho sampai berani ambil langkah untuk hamilin Nayeon," ungkap Seokmin tiba-tiba, "Ada cerita, sih, tapi mau aku kasih tahu di luar? Kayaknya tadi kamu hampir pergi sama Wonwoo tapi nggak jadi karena aku. Boleh kutebus?"

Sepersekian detik aku terperanjat mendengar penuturannya yang panjang. "Kamu tahu Wonwoo?"

"Sekolah kita rival, anak-anak di sekolahku pasti tahu siapa aja yang berpengaruh di sekolahmu. Termasuk mantan kamu si Seongwoo—ketua Amor, dan Wonwoo si aktor terbaik. Kak Minho juga bilang kalian pacaran," jelasnya dengan senyum getir, "Coba tanya Wonwoo tentang aku, pasti dia tahu aku anak geng juga di Hansung."

"Oh, kamu nakal dong?"

"Ya dan untungnya sih enggak bego."

"Yaaaaaa," aku ketawa.

"Jadi gimana? Kamu mau aku tebus masalah kamu nggak bisa pergi sama pacarmu?"

"Iya-iya," aku senyum, beranjak berdiri begitu pula Seokmin, "Tapi sama Wonwoo aku nggak pacaran, ya."

"Terus kenapa pelukan tadi?" curiganya, "Minimal kalian masih proses pendekatan kalau nggak pacaran."

"Gitu, ya? Bingung hehehe."

"Fokus dong, jangan banyak bingungnya hari ini."

Aku meringis, "Sorry ya, aku belakangan ini lost banget."

"Aduh," Seokmin menepuk jidatnya, "Padahal aku punya minat buat ajak kamu ke Arcade yang baru buka itu. Tapi nanti kamu makin lost kalau aku ajak ke sana."

"Dih? Apa sih? hahahaha," aku ketawa lagi, Seokmin juga, "Aku perlu healing terus dengar cerita kamu tentang Kak Minho. Kita ngobrol kayak dulu."

"Tempat kopi langganan aku, ya? Kamu suka starbucks tapi sorry, lagi tanggal tua. Aku perlu hidup seminggu lagi sebelum setoran masuk dari Papa."

Dan aku tertawa entah untuk yang keberapa kali. Sekurang-kurangnya sore itu, kami isi dengan cerita dan tawa. Lebihnya, Seokmin melupakan sakit hatinya olehku beberapa bulan lalu.

***

Menjelang malam, aku masih betah duduk dan bersandar di pelataran kafe ini. Ah, kata 'kafe' sepertinya terlalu modern dan terkesan mahal untuk tempat ngopi bernuansa kayu yang kata Seokmin jadi pelarian kesukaannya.

Omong-omong, cangkir kopi di hadapan kami adalah cangkir kedua, serta pisang keju yang sebelumnya kami memesan roti panggang. Seokmin hanya berbicara acak, selayaknya kami sebelum perasaannya disangkutkan.

Toward Dusk | wonwoo Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang