Memang. Tidak ada lagi yang bisa aku harapkan dari dia. Semenjak malam itu, hingga berselang satu minggu kemudian, rasanya seolah ada jarak yang membentang. Semenjak malam itu, tidak ada semangat bagiku tiap harinya. Semenjak malam itu, aku patah hati.
Yang aku tahu dari Mingyu, Wonwoo katanya sibuk menyempurnakan monolognya—sampai tidak sempat mengabari atau apalah itu namanya. Bukannya aku lelah, hanya saja... memilih seperti ini membuatku merasa lebih baik. Ya, pura-pura di luar baik-baik saja.
Woozi lewat chat sering mengundangku ke teater untuk melihat latihan atau kejamnya lagi membantu Wonwoo soal monolog. Jauh bagaimana Woozi meminta, aku pasti mau untuk datang apalagi ada Wonwoo. Tapi.. ragu kembali hadir karena malam itu Wonwoo pergi entah untuk siapa.
Namun hari ini justru harus datang. Hari dimana aku akan benar-benar bertemu lagi dengan Wonwoo. Janji sudah terlanjut aku berikan ke Woozi dan Joshua bahwa akan membantu soal tata rias. Sebelum semua perasaan ini ada, mereka ingin aku selalu ke teater. Dan sepertinya, hanya ini yang bisa aku lakukan—demi teater yang dulu segalanya buatku.
Jantungku sudah tidak berkhianat sejak lama jika dia pasti akan berdetak kencang ketika bertemu Wonwoo. Dan...ya, cowok itu ada di ambang pintu kelas, menelepon, menyadari presensiku.
Aku membalasnya dengan senyuman tipis sebelum menggeser tubuh dan melewati Wonwoo begitu saja. Di dalam ruang kelas, aku bertemu Woozi. "Uji," sapaku.
"Ah, damn! Akhirnya kamu datang, Min," serunya yang kemudian langsung menarikku ke pojok ruangan. "Lagi hectic banget ini wardrobe buat dramanya masih pada salah. Kita punya sisa waktu lagi satu jam."
"Iya-iya, santai, aku bantu perbaiki riasan punya siapa? Aku di drama dulu nggak pa-pa baru nanti ke monolog."
Woozi menggenggam tanganku dengan miliknya yang bergetar hebat. Yah, perasaan seorang sutradara dengan teknis yang belum rampung memang menakutkan. "Punya Jun, ya ya ya? Please?"
Aku mengangguk. "Jun mana?"
"Tadi di aula, sih, katanya mau berhias di sana," ujar Woozi, "Soalnya di kelas ini panas."
"Oke," aku mengambil beberapa barang rias inventori untuk memoles Jun di aula, lalu keluar dari ruang kelas saat seseorang tiba-tiba menarik lenganku. Aku termangu cukup hebat ketika tubuhku dibalik paksa dan orang itu memandangku tanpa arti.
"Kenapa?"
Aku mengernyit heran. "Kenapa apanya?"
"Kenapa nggak pernah ke teater? Kenapa nggak pernah nungguin aku latihan monolog lagi?"
"Nggak kenapa," jawabku tak acuh, berusaha melonggarkan tangan Wonwoo yang masih menahan lenganku, "Aku ke aula sebentar, mau nyari Jun."
Wonwoo marah, "Katanya kamu jadi tata riasku? Kenapa tiba-tiba ke Jun?"
"Aku bantu Jun sebentar, Wonwoo—" pegangan Wonwoo justu makin kencang ketika aku mencoba melepasnya, "Nanti ke kamu lagi."
"Aku nggak mau jadi yang kedua," ungkap Wonwoo, "Jangan ke Jun."
"Aku udah janji."
"Kamu juga udah janji ke aku duluan," sungut Wonwoo yang tetap tidak mau kalah, "Aku mau kamu sekarang."
"Apa sih?" protesku tanpa sadar menjauhkan diri dari Wonwoo. Aku tahu, ini bahkan terlalu tiba-tiba dan tidak apa persiapan bagiku dalam menghadapi Wonwoo. "Kita ngomong nanti, kalau aku mood."
***
Ujung-ujungnya, aku dari tadi ini sibuk di belakang panggung tanpa bisa menonton pementasan. Drama yang ditampilkan oleh Jun berisi lima scene yang tiap scene-nya menghabiskan durasi sekitar 10 menit. Jadi bagi crew yang ada di belakang harus sigap dalam membantu pemain. Seperti menyeka keringatnya, menumpuk dengan riasan baru, memberi konsumsi, dan lain sebagainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toward Dusk | wonwoo
Fanfic"Karena cowok juga sama kayak cewek. Mereka bisa marah, mereka lelah mengalah, mereka ingin dimengerti, mereka mau kodenya ditangkap. Jadi tolong, kadang pahami tipikal cowok. Tipikalku." Begitu ucapnya sebelum berlalu meninggalkanku sendiri. Wonwo...