Seokmin selalu merayuku agar dia yang mengantar menuju sekolah. Lebih mengarah pada memaksa yang berakhir aku risih. Mulai dari melapor pada ayah, menakut-nakuti bahaya jambret dan begal, menyumpahi langit agar turun hujan.
Intinya Seokmin tidak mau aku pergi.
"Aku nggak akan pulang lebih dari jam 11, oke? Kalau kamu halangin aku terus, sampai rumah aku bakal lebih malam lagi, Seokmin."
"Makanya biar aku yang antar ke sekolahmu. Perkara kamu pulang subuh pun tetap aman karena bareng aku." Seokmin masih membawa kunci motorku yang dia genggam di balik punggungnya.
"Please? Aku sudah ditunggu, Seokmin. Jangan maksa, deh," Lama-lama aku juga lelah menghadapi Seokmin.
"Tanpa kamu ngeluh gitu, kita bisa berangkat sekarang. Memangnya siapa, sih, yang buat kamu buru-buru gini berangkatnya?"
Aku termangu. Mengenai Wonwoo, Seokmin memang tidak tahu soal cowok itu, lebih tepatnya aku yang tidak bercerita. Entah karena tidak bisa, tidak mau, atau bahkan tidak mungkin. Aku terlalu takut melukai hatinya lagi dengan memberitahu sosok Jeon Wonwoo. Orang yang hampir mengambil kendali atas hari-hariku.
Seokmin terlalu lugu. Aku tidak mau membuatnya patah. Semua orang tahu insting perempuan itu benar, asumsiku mengatakan kalau Seokmin belum sepenuhnya rela melepasku. Menurutku juga hal tadi bukanlah hoax semata. Asumsi itu diperkuat oleh cerita Kak Minho.
Seokmin orang yang terbuka ke Kak Minho. Kemudian kakakku, bukan tipikal orang yang akan diam jika itu menyangkut keluarga.
"Aku mau ke teater." Kakiku bergerak cepat merapat ke arah Seokmin, mengulurkan tangan melewati pinggangnya, dan secepat yang tanpa Seokmin sempat sadar—aku berhasil mengambil kunci motorku. "Aku pergi, ya, Kak Minho sudah di depan perumahan, sebentar lagi sampai."
Cowok di hadapanku seperti sengaja diam dalam tatapan menyendu. "Kamu berubah, Minhwa."
"Aku?"
"Siapa laki-laki yang buat kamu lebih milih dia dan nggak peduli aku?"
Tubuhku tersambar petir ketika Seokmin mengatakannya. "Seokmin, aku peduli sama kamu."
Dia tersenyum, "Aku tahu kalau itu omong kosong."
"Itu kenyataan kalau aku memang peduli ke kamu, termasuk sayang kamu, Seokmin. Dari dulu aku sayang sama kamu, itu nggak berubah." Aku mendekatinya lagi. Mengambil tangannya yang tergantung di sisi, menggenggamnya.
"Kamu tetap bukan Minhwa yang dulu."
"Kita sama-sama sudah besar, menuju dewasa."
"Dan kamu menuju semakin lupain aku."
"Seokmin, apa yang—"
"Hati-hati di jalan. Besok kamu nggak akan lihat aku lagi, Kak Minho pulang untuk antar aku balik ke rumah." Seokmin meninggalkanku.
***
Aku tidak pernah salah ketika menyatakan bahwa teater memang pelarianku dari berbagai masalah. Mendadak semuanya akan menghilang, atau paling tidak, aku mampu melupakannya walau sementara.
Di antara teman-teman teater yang lain, aku paling dekat dengan Jun. Di organisasi teater kami, dia yang paling pandai bidang pantomim. Tubuhnya akan bergerak luwes saat menari, tetapi kaku ketika menggambarkan suatu objek atau adegan. Pada lain sisi, Jun adalah pemberi saran yang baik.
"Ih, kangeeeenn!.." Jun berhambur memelukku. "Sok sibuk sama osis, sih, jarang main ke sini."
"Kan ketemu di kantin.." Kami tertawa keras. Jun tiba-tiba menangkup pipiku gemas. Dia kembali tertawa. "Wonwoo mana?" Aku tanya karena alasanku kemari juga karena cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toward Dusk | wonwoo
Fiksi Penggemar"Karena cowok juga sama kayak cewek. Mereka bisa marah, mereka lelah mengalah, mereka ingin dimengerti, mereka mau kodenya ditangkap. Jadi tolong, kadang pahami tipikal cowok. Tipikalku." Begitu ucapnya sebelum berlalu meninggalkanku sendiri. Wonwo...