Katakanlah ini memang putusanku untuk mengakhiri kisah bersama Wonwoo. Sebagaimana sabarnya Wonwoo saat itu, seberapa besarnya pinta Wonwoo agar kami masih melanjutkan komunikasi, hingga aku bernapas hari ini, selalu masih ada sesal. Namun fokusku tidak bisa dipaksa memecah seperti itu, program-program di Eksekutif mampu menyamarkannya.
Bicara jujur—aku tahu nantinya akan terdengar terlalu berlebihan—tapi kau harus merasakannya dulu. Tiap tiga bulan pasti ada saja kegiatan yang dirancang, entah itu sudah adat, atau gebrakan baru demi upaya inovasi. Nyaris selama satu bulan penuh, aku sama sekali tidak memikirkan Wonwoo. Dari sana aku sadar, Wonwoo harus aku lepas agar pikiranku lebih tenang. Aku tidak bahagia setelahnya, semuanya justru semakin kacau.
Lalu selama satu tahun terakhir ini, untuk memandang wajahnya, bisa memegang kembali tangannya, masih mampu terhitung oleh jari. Sangat, aku sangat merindukan Wonwoo. Rasa yang kuat agar bisa memeluknya begitu besar ketika dia berdiri di hadapanku.
Temanku bilang begini; Mustahil bisa sukses di segalanya dalam satu kali genggam. Hidup memang bergerak untuk merelakan dan direlakan.
Jeon Wonwoo adalah pengorbananku. Aku merelakannya.
"Kamu serius mau nunggu?" tanyaku ketika Wonwoo bilang akan menungguku sampai pulang, dia memilih duduk di kursi luar kafe, "Aku nggak kenapa kalau ditinggal. Nanti bisa diantar Dahyun."
"Aku tungguin," jawabnya datar lewat sekilas senyum, "Bahaya kamu berdua aja sama Dahyun nanti."
"Lama, Wonwoo."
"Udah biasa," kilahnya seraya senyum, "Kamu masuk, udah ditunggu sama yang lain. Aku nitip lemon tea, ya."
"Oke," ya sudah. Aku memilih masuk dan duduk, kemudian memesakan minum untuk Wonwoo. Dari tempatku diam, punggung Wonwoo tampak lesu. Sesekali dia terlihat menyisir rambutnya ke belakang. Pikiranku semakin gundah entah mengapa.
"Nggak kenapa gitu si Wonwoo?" tanya Jennie.
"Dia yang mau," jawabku, "Aku egois, ya?"
"Kalau bilang egois, iya sebenarnya. Kamu egois," ucap Jihyo, "Tapi kita paham posisimu, Min, segimana sibuknya di kampus. Cuman, hubungan kalian bisa diperbaiki, kok. Seokmin untungnya paham gimana kehidupan kuliahku."
Iya, Jihyo dan Seokmin memang masih pacaran. Aku salut dengan mereka, bisa sama-sama bertahan. Seokmin bahkan memarahiku saat pertama mendengar aku putus dari Wonwoo. Dia emosi dan menuntut alasan jelasku. Sibuk di kampus katanya bukan sebuah perkara. Seokmin pernah tidak mau menghubungiku selama satu minggu karena itu.
"Coba deh lihat gimana Wonwoo mau ikut sampai tungguin kamu, Minhwa," celetuk Dahyun dengan senyumnya, "Kita tahu lah kamu masih sayang ke dia, kenapa nggak mau diomongin? Balikan aja."
"Pekan olimpiade bentar lagi, guys. Itu acara paling besar dan kalau aku sama Wonwoo bisa balikan, aku pasti akan kayak dulu yang nggak punya waktu sama dia," sahutku. Memandang sedikit ke arah jendela dan aku terperanjat karena melihat kepulan asap di atasnya.
***
"Won, kamu masih ngerokok, ya?"
"Hm?" dia berdeham santai seolah tidak takut ketahuan menghisap rokok, "Iya, hehehe."
Ada dorongan untuk menyuruhnya berhenti, memarahinya karena kebiasaan buruk itu, memgambil kotak rokok yang aku tahu ada di balik saku celananya. Namun aku bukan lagi siapa-siapa, tidak ada hak buatku untuk bertindak begitu.
"Jangan banyak-banyak aja, nggak baik."
"Iya," Wonwoo memakaikan jaketnya padaku, berikut dengan tangannya yang bergerak menyisir rambutku, "Ada satu tempat yang mau aku datengin sama kamu. Ikut sebentar, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Toward Dusk | wonwoo
Fanfic"Karena cowok juga sama kayak cewek. Mereka bisa marah, mereka lelah mengalah, mereka ingin dimengerti, mereka mau kodenya ditangkap. Jadi tolong, kadang pahami tipikal cowok. Tipikalku." Begitu ucapnya sebelum berlalu meninggalkanku sendiri. Wonwo...