Aku ngantuk, aku malas, aku gabut, aku ingin enyah. Adalah frasa-frasa yang selalu saja terngiang di kepalaku tiap pagi—maksudnya, tiap sekolah. Sebegitu bosannya dengan kehidupan SMA walau aku tahu, orang-orang yang hidup di dalamnya, tidak bisa aku tinggalkan.
Bukan, bukannya aku tidak mau sekolah, hanya saja... ya, kalian paham? Seandainya saja sekolah itu hanya untuk berkumpul, bercengkrama bersama teman akrab. Lagi dan lagi aku mengerti; itu mustahil.
"Anak-anak, sekarang coba latihan dengan teman sebangku kalian untuk percakapan seperti di buku. Ibu beri waktu 30 menit, setelah itu kita ambil nilai."
Sorak umpatan memenuhi hati dari teman-teman sekelasku. Bu Taeyeon tidak ada bilang kalau hari ini Bahasa Inggris akan pengambilan nilai percakapan, materinya tentang pariwisata, jadi seolah aku menjadi tamu lalu Jennie sebagai receptionist. Setelah 5 menit, perannya berubah.
Kami di perpustakaan omong-omong. Jadi tidak boleh ribut.
"Bu Taeyeon selalu gitu." Jennie menghela napas, menyoret beberapa bagian yang menurutnya tidak efektif, "Ceritanya kamu bayar cash saja, ya, kalau pakai kredit lagi lebih lama—panjang."
"Iya, iya, terserah. Apa pun." Aku mengambil kertas catatan itu, berusaha untuk memahaminya.
"Jennie, Minhwa, ini kalau isi upselling produk taruhnya dimana?" Tiba-tiba Jihyo menarik kursinya mendekat, diikuti Dahyun di sebelahnya. Kini meja tempatku dan Jennie dipenuhi oleh penggosip.
"Bebas, tapi biasanya ditaruh setelah tamu itu ngasih tahu reservasinya apa, karena nanti kamu bisa nawarin untuk produk yang lebih tinggi." Jawabku ke Jihyo, dia mengangguk paham.
"Kalian pakai upselling?" Tanya Dahyun ke aku dan Jennie.
"Enggak, ni bocah nggak mau menghapal banyak-banyak." Sahut Jennie ke Dahyun, tapi menunjukku. Kami semua kembali fokus untuk latihan, sampai mendadak saja, Jennie menepuk meja pelan. Maksudnya, seperti ada sesuatu yang tiba-tiba dia ingat.
"Kenapa, sih?"
"Ya ampun! Tuhan astaga, Tuhaaaan!"
"Apa apa apaa?" Kami gemas, apalagi melihat ekspresi Jennie yang sangat membuat penasaran.
"Aku mau cerita, sih, tapi nggak yakin soalnya ada yang bisa nambah sakit hati."
"Siapa, sih, siapa? Jen, tolong jangan gini." Aku sampai memajukan tubuhku maksudnya untuk menuntut Jennie agar cepat bercerita.
"Kamu. Minhwa. Harus ikhlas, ya." Katanya. Jihyo dan Dahyun hanya diam dengan wajah ingin tahunya yang sangat kentara.
"Ini soal Ong Seongwoo."
Punggungku mengendor, kembali bersandar pada sandaran kursi kayu. Topik bahasannya sudah membuatku malas, tidak bersemangat lagi untuk kepo. "Udahlah, lanjut bahasa inggris dulu."
Sampai kapanpun, aku tidak akan mau masuk dalam obrolan jika itu menyangkut Seongwoo. Rasanya masih hambar.
***
Bu Taeyeon selesai, teman-teman satu kelas telah kembali, begitu pula dengan Jennie, Dahyun, dan Jihyo. Mereka langsung meninggalkanku yang memilih untuk berdiam diri di perpustakaan—kelas Sosiologi setelahnya kebetulan kosong. Ya, akhirnya Jennie sudah mengatakan apa yang dia lihat.
Katanya Ong Seongwoo ciuman sama Tzuyu, selingkuhannya tetapi sekarang dinobati menjadi pacar cowok itu.
Rasanya mau marah juga percuma, menangis malah sia-sia. Memang aku siapa, sampai berhak untuk cemburu? Aku merenungi nasibku, jika saja dulu tidak menerima Seongwoo saat pertama kali SMA, sakit hati pasti sangat jauh kurasa.
Saat aku rasa sendiri mulai membosankan, seseorang menarik kursi di sebelahku, tersenyum hangat sembari duduk, menaruh ponselnya di atas meja. "Boleh gabung?"
"Boleh lah, kan tempat umum."
"Kirain nggak boleh, takut ganggu." Wonwoo memposisikan dirinya sangat nyaman, "Kayak-kayaknya galau, nih."
"Dih, sok tahu kamu." Aku mencibir, memainkan ponsel.
"Tadi cuman nebak, kalau salah, ya, nggak kenapa." Dia tetap senyum, "Tapi kok Kak Minhwa sendiri? Biasanya berempat."
"Lagi pingin. Kamu juga kenapa sendirian?"
"Ada Mingyu sama Hoshi, tapi mereka ngegame dipojok."
"Kok nggak barengan? Kamu gak suka game juga?"
Wonwoo menoleh sebentar lalu bersandar pada kursi, "Suka, sih."
Aku automatis tertawa, "Sih?!"
"Lebih suka berjuang buat nyari pacar, hahaha."
"Hahaha," Aku ketawa juga, "Bener, sih, kamu. Sebagian cewek nggak suka pacarnya gamers."
Entahlah, namanya juga firasat perempuan saat itu. Tetapi yang aku lihat, mata Wonwoo tampak begitu serius setelahnya, "Kak Minhwa bagian yang mana?"
"Yang mana? Apanya yang mana, Wonwoo?"
"Yang suka pacarnya gamers atau bukan?"
"Nggak tahu, deh. Belum pernah punya pacar gamers." Aku berbalik, ikut bersandar seperti yang Wonwoo lakukan.
"Kak Seongwoo bukan gamers?" Tanya dia, aku menatapnya sebentar lalu kembali.
"Gamers dia." Jawabku singkat, "Suka main hati perempuan."
"Maaf."
"Bukan salahmu."
"Tapi aku singgung soal dia."
"Ya sudah, kalau gitu berhenti, jangan bahas lagi."
"But..." Ucapan Wonwoo menggantung, aku lagi-lagi memandangnya karena ingin tahu, dia tersenyum dengan sorot mata tajam tetapi tidak mengintimidasi. Pernah ku bilang, bukan? Aku terpesona dengan senyumannya. "But I want to get know you deeper, Kak."
"Pardon, Won?"
"I apologize." Di saat aku bingung dengan perkataannya, Wonwoo malah semakin membuatku penasaran. Tanpa ada tambahan apa pun, Wonwoo beranjak dan membiarkanku sendirian.
Bersama jutaan persepsi untuk kembali termenung heran.
***
TBCYou Made My Dawn = You Make Me Broke, dude...
apakabar tunjangan real life, tunjangan kuliah gabutku:(
apakabar hati yg menyesal apabila nggak beli:(
KAMU SEDANG MEMBACA
Toward Dusk | wonwoo
Fanfic"Karena cowok juga sama kayak cewek. Mereka bisa marah, mereka lelah mengalah, mereka ingin dimengerti, mereka mau kodenya ditangkap. Jadi tolong, kadang pahami tipikal cowok. Tipikalku." Begitu ucapnya sebelum berlalu meninggalkanku sendiri. Wonwo...