25 - Ayah, bunda, dan rumah ("Kita belum apa-apa terus kamunya sibuk osis.")

651 78 8
                                    

Ada perasaan yang terlalu mengejar, kemudian sisanya bertahan dengan menanti. Ada kasih yang mudahnya menjadi kekasih, meski sebagian tidak bisa dipaksakan sama. Lalu terakhir, ada seseorang yang menjadi poros hidup orang lainnya, maka bagiku dia adalah Jeon Wonwoo.

Bicara perihal jujur dan tidak, entah sejak kapan aku kian jatuh cinta dengan laki-laki yang kini berdiri di sampingku. Yang jelas, aku ingin menikmati ini lebih lama lagi. Percayalah, Jeon Wonwoo memang simbolis sempurna sang penjaga ruang hati. Ah, Wonwoo!

"Wonwoo, kamu makan udah dua cup," kataku lalu merampas tempat ice cream kedua milik Wonwoo dan membuangnya, "Perutmu kembung nanti."

"Kita udah makan tadi," ucapnya mengelak, "Udah pemanasan lah jadi sebenarnya ini masih bisa nampung satu cup lagi."

"Dih, jangan!" aku spontan meninju perutnya pelan sampai Wonwoo terbahak, "Aku pernah beli ice cream ini yang large terus malamnya sakit. Kamu jangan sakit lagi."

"Iyaaa, perhatian banget, sih?" Wonwoo mendekat, mengecup pipiku sekilas, "Jadi makin sayang."

"Cheesy Jeon Wonwoo."

"A good looking high school boy."

Aku tertawa, "And he is Lee Minhwa's."

Wonwoo pada akhirnya juga kembali tergelak, "Oke, I'm yours. I'm totally yours sampai mati, ya?"

"Sampai maut memisahkan," tambahku yang masih ikut tertawa karena.... sungguh! Ini sebenarnya memalukan.

Tapi tanpa disangka Wonwoo justru terdiam dan mendelik, "Siapa yang ngajarin gombal, hah?"

"Kamu."

"Cheesy Lee Minhwa," dia mendengus.

"A gorgeous last year student."

Sebagai penutupnya, Wonwoo melabuhkan kecupan lama di keningku setelah berkata, "And that senior will always be Jeon Wonwoo's. I love you."

***

Malam ini, suasana rumah studio Kak Minho begitu ramai. Kakakku ada di sini, Wonwoo juga, teman-temanku, dan terakhir Seokmin. Mereka hanya ingin menjenguk serta memastikan kondisiku baik-baik saja. Serta di balik itu, aku yakin jika Seokmin datang atas kehendak ayah bunda.

Aku menarik teman-temanku menuju kamar Kak Minho, sedangkan yang laki-laki ada di ruang santai.

"Jadi gimana keadaanmu?" tanya Jennie.

"Aku baik, semua baik karena aku sama Kak Minho," jawabku tersenyum, "Yah, tapi memang aku rindu rumah."

"Pulang," tegas Jihyo namun masih terkesan lembut, "Kamu harus pulang. Ajak Kak Minho, semua bakalan lebih baik dari hari ini, Minhwa."

Aku tersenyum—masih. Hari ini terlalu membahagiakan, topik obrolan manapun tidak boleh memecah moodku. "Masih belum bisa. Kak Minho belum siap pulang."

"Hei, ayah bundamu lebih nggak siap dengan perbuatan Kak Minho, ditambah bungsunya langsung kabur dari rumah," imbuh Dahyun dengan perasaan sedih, "Orang tuamu adalah pihak yang paling nggak siap sama skenario ini."

Pembahasan rumah memang pasti semenyakitkan ini. Tapi di luar bagaimana aku bertindak saat itu, pelarianku berujung pada perjumpaan dengan Kak Minho. Aku sadar keluarga semestinya bersatu, tapi... aku terlalu takut Kak Minho enggan kembali dan justru pergi semakin jauh. Aku hanya mau bersamanya untuk sekarang.

"Ayahmu hampir setiap hari kontak Seokmin," sahut Jihyo yang membuatku termangu, "Yang aku tahu Seokmin sama Wonwoo nggak pernah absen dari telepon ayahmu buat nanya kabar kamu gimana."

Toward Dusk | wonwoo Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang