22 - Kita marahan ("Masih marah?")

814 86 15
                                    

Pagi ini, aku terngiang dengan pembicaraan terakhir bersama Wonwoo semalam—selepas dari rumah sakit, serta kencan, dan lain sebagainya.

Malamnya begitu aku beranjak menaiki kasur, ada panggilan telepon dari Wonwoo, mulanya kami hanya ngobrol seumumnya, tapi lama-lama topik bahasan Wonwoo menyangkut seseorang yang selama ini aku tidak mau peduli, aku benci, namun malah seharusnya aku berterima kasih.

Ini soal Ong Seongwoo. Dan kenyataan lain dari kecelakaan yang menimpa Wonwoo, juga bagaimana cowok itu berperan besar.

"Aku mau nanya penting, boleh?" izin Wonwoo setelah kami berbicara tentang kepanitiaan untuk masa orientasi siswa tahun ajaran baru.

"Iya, apa?"

"Perasaan kamu gimana ke mantanmu?" tanya dia yang aku tebak melalui nadanya, pembicaraan ini lumayan serius. Jika ini mengenai Seongwoo—masa lalu—buat apa dia bertanya? Karena aku pikir Wonwoo sekarang lebih dekat dengannya.

"Seongwoo?" dia berdeham, "Kenapa nanya gitu?"

"Aku mau tahu," jawabnya singkat, "Kalian putus nggak baik-baik, kan? Aku harus tahu perasaanmu gimana ke dia, aku gak mau ada yang disembunyiin dari hubungan kita. Aku gak akan cemburu."

"Wonwoo, ini bukan perkara kamu akan cemburu atau gak, tapi—" aku memejamkan mata sebentar. Membahas luka di masa lalu memang masih menyakitkan, ya kan? "Tapi aku gak mau ingat-ingat lagi."

"Benci sama dia?"

"Nggak...."

"Jujur aja."

"Buat apa? Kenapa kamu mau tahu?"

Deru napasnya yang teratur dari balik sambungan telepon, menandakan bahwa Wonwoo dalam kondisi yang baik-baik saja. Maksudku, tidak emosi atau apalah. Tapi sebaliknya, seperti aku yang rasanya mau marah. Wonwoo seolah menuntut untuk membuka lagi masalah yang telah sudah, yang pernah terlupakan karena kehadiran Wonwoo, namun justru dibangkitkan kembali oleh orang yang sama. Wonwoo.

"Jangan benci dia, ya? Coba maafin apa yang pernah dia perbuat ke kamu. Sambung lagi hubungan baik kalian."

"Oh? Mau aku balikan sama Seongwoo?"

"Gak balikan juga, sayang.... maksudnya kalian bisa jadi teman, bukan pacaran lagi, jangan."

"Apa yang sebenarnya mau kamu bilang, sih?"

"Sebelum kecelakaan, aku minum—"

"Kamu mabuk?!" pekikku kaget. Malam itu.

"Sorry, udah ah bukan itu yang mau aku bahas," elaknya cepat, "Ya intinya aku mabuk di markas Amor setelah lihat kamu di Kopi Kita sama Seokmin. Sorry ya, aku cemburu."

"Hell, Wonwoo!" aku berteriak, "Apa sih? Kenapa harus kayak gitu? Kenapa baru ngomong sekarang? Damn—"

"Kita bicarain besok, ya? Soal gimana aku kecelakaan, sekarang Seongwoo dulu."

"Wonwoo, aku marah."

"Minhwa... please? Besok marahnya nggak pa-pa. Ini tentang Seongwoo dulu, aku beban banget kalau nggak bilang ke kamu."

"Aku juga beban, maaf."

"Kakiku lagi sakit, nggak mungkin bisa ngejar kamu ke rumah malam ini. Mau ya? Dengar apa yang aku bilang. Yaaa? Ini demi kamu, untuk masalah yang lain, besok kita ketemu sambil ngobrol. Mau umpat-umpat aku juga it's oke."

Aku membisu tanpa sedikit pun niatan untuk membalas ucapan panjang lebar Wonwoo. Rasanya seakan dipermainkan oleh perasaan. Mau marah tapi belum benar, karena rasanya ini belum jernih. Aku mungkin orang bodoh jika langsung mematikan sambungan telepon ini kemudian menghilang besok.

Toward Dusk | wonwoo Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang