(7)

10.5K 1K 57
                                    

Max tidak bisa berkonsentrasi untuk menyalin PR kalkulusnya. Tidak ketika Max hanya perlu mengangkat kepala dan mendapati sosok Jesse di seberang sana sedang membaca buku dengan jendela terbuka dan senter begitu terang di sampingnya. Angin bertiup hingga menyapu rambut pirang Jesse yang terurai. Gadis itu membawa rambut ke balik telinga. Satu tangannya menahan buku supaya tetap pada halaman yang dibacanya, satu tangannya lagi membetulkan letak kacamatanya. Max tidak pernah menyadari pemandangan ini sebelum dua minggu yang lalu saat mereka duduk bersebelahan di bioskop dan B&B. Padahal selama ini, beginilah letak meja belajarnya yang menghadap jendela.

Max meraih ponsel dan mencari nomor Jesse untuk menanyainya buku apa yang sedang ia baca. Namun tersadar bahwa ia tidak mempunya nomor sahabat adiknya. Satu-satunya jalan untuk mendapat nomor Jesse adalah adiknya.

Max : C? Kau sudah tidur?

Cara : Persetan denganmu, Max. Aku sedang menelepon Rick. Berhenti mengirimiku SMS. Ponselku bergetar di telingaku.

Max : Aku butuh bantuanmu. Tolong?

Cara : Tunggu. Kau di mana?

Max : Di kamar. Kenapa?

Cara : Demi Tuhan! Adikmu bukan hanya aku, oke? Kau bisa ganggu Kev atau Cal di kamarnya.

Max : Kev dan Cal tidak punya nomor Jesse.

Cara : Oh...

Max : Hah?

Cara : *1 kontak diterima*

Cara : Berjanjilah kau akan mengajaknya berkencan.

Max menyimpan nomor Jesse dan menimbang harus mengiriminya pesan apa supaya Jesse membalasnya. Mengingat Jesse yang gugup ketika berhadapan dengannya, Max tidak mau mengambil risiko Jesse menutup jendelanya begitu Max membuka jendela kamarnya. Sepertinya Jesse juga sangat sibuk dengan bacaannya dan Max tak yakin di mana ponsel Jesse sekarang.

Max menekan tombol panggilan sementara matanya terus mengamati gerak-gerik Jesse dari balik tirai dan jendela kamarnya. Jesse terenyak dari bacaannya, membatasi halaman terakhir, dan menghilang dari pandangan Max sebelum kembali dengan raut bingung. Jesse mengangkat panggilannya dan Max mengakhirinya sebelum Jesse selesai mengucapkan halo. Raut kesal Jesse di seberang sana membuat Max tersenyum. Max mengetik pesan dengan cepat sebelum Jesse melempar ponselnya dan tidak mempedulikannya lagi.

Max : Jesslyn?

Jesse : Siapa ini?

Max : Ini Maxime.

Jesse membeku di seberang sana. Ia mengangkat kepala menatap jendela Max. Untuk sepersekian detik, Max yakin mereka bertemu pandang. Namun Jesse membalas pesannya seolah tidak tahu apa-apa, tidak tahu bahwa Max ada di balik jendela.

Jesse : Ada apa?

Max : Sedang apa?

Jesse : Kenapa membalas pertanyaanku dengan pertanyaan? Aku sedang membaca.

Max : Apa yang kau baca?

Jesse : Budidaya bonsai.

Max : Kau berpikir untuk menanam bonsai?

Jesse : Tidak. Aku hanya membaca. Kenapa mengirim pesan padaku, Max? Ada sesuatu yang bisa kubantu?

Apakah Jesse tidak suka kalau Max mengiriminya pesan? Apakah Jesse hanya tidak mau basa-basi? Yah, Max juga tidak mau berbasa-basi dengan menanyakan bonsai. Ia hanya ingin berkata pada Jesse bahwa gadis itu cantik dan Max menyukainya. Lagipula Jesse bilang ia tidak punya pacar. Kalaupun ia sedang dekat dengan seseorang, masa bodoh saja. Max akan menyambar kesempatan lebih cepat daripada siapapun pemuda ini. Max ingin mengajak Jesse berkencan. Ya, benar, tanpa Cara ancam pun, Max berpikir untuk mengajak gadis itu keluar. Gadis itu seperti ensiklopedia berjalan dan Max senang mendengar suaranya. Tetapi Max meragukan bagaimana respon Jesse jika Max mengajaknya. Max kurang pengalaman untuk gadis seperti Jesse. Pasti tidak lebih mudah daripada mengajak para gadis pemandu sorak.

RECOVER METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang