Pada akhirnya, dia yang kamu anggap berbeda, ternyata sama saja.
•••
ALBIAN yang sedang menyumpal kedua telinganya dengan earphone, ponsel dimiringkan, dan sebelah kaki yang dinaikkan ke meja tak terusik sedikit pun dengan keadaan kelas yang berisik.
Albiza sesekali meliriknya, sejak kemarin Albian tidak berbicara padanya, tidak mengirim pesan, dan tidak sekadar memberi senyum meski diam-diam. Apa Albian menghindar? Meski Albiza menyadari sesekali Albian menoleh padanya.
Dua hari terakhir ini, Albiza dan Albian tidak saling berkomunikasi, entah apa alasannya. Albiza ingin sekali mengirim pesan duluan, tapi gengsinya mendominasi. Namun jika menunggu mau sampai kapan? Setelah insiden itu mungkin saja Albian tidak akan menghubunginya lagi.
Novia? Cewek itu sudah tidak masuk sekolah dua hari ini, Albiza jadi khawatir Novia benaran marah padanya. Itu pasti, tapi Albiza takut Novia menjadi tidak semangat lagi.
"Za, semalem Novia--"
"Iya, sori." potong Albiza cepat, cewek itu menelungkupkan wajahnya pada meja.
"Za ... lo berdua sahabatan bahkan sebelum kenal gue. Jangan begini dong, baikan. Gue yakin lo nggak serius, 'kan kalo lo suka sama 'yang itu'?"
Albiza diam, apakah memang harus mengakhiri perasaannya pada Albian agar hubungannya dengan Novia membaik? Tahukah kalian? Salah satu hal tersulit adalah ketika kamu dipaksa untuk melupakan seseorang yang bersamanya saja masih sebatas 'semoga'.
"Albizaaa... lo jangan diem aja dong, atau jangan-jangan ... lo beneran suka sama dia!?"
Albiza meringis mendapati tembakan Lala, tidak tahu harus bagaimana. "La---"
"Lo beneran!? Astaga Biza, pantesan aja Novia marah, lo 'nggak ada bilang suka sama 'yang itu'. Coba kalo lo bilang dari awal." Lala geregetan sendiri, membuat Albiza memberi syarat agar Lala tidak berisik. "Kalo kayak gini 'kan mikirnya elo itu penikung, Novia yang cerita elo malah ikutan suka. Gimana, sih!?"
"Ya gue emang salah, niat gue mau simpen sampe lulus nanti, tapi malah kebongkar." bisik Albiza pelan, nyaris tidak terdengar.
"Aduh, Albiza, kalo udah gini siapa yang salah coba?" Lala menghela napas berat. "Sekalinya lo mau jujur udah telat, astaga gemes gue."
"Novia bilang... kalo ada orang yang suka sama Albian salah satu temannya, dia bakalan gak sekolah... lagi."
"Tuh, 'kan!" Lala membawa Albiza keluar kelas, menjaga privasi dari orang-orang di kelas yang hobi nyinyir.
"Terus gimana?"
"Gue, gue gak tahu, La."
"Minta maaf, telepon Novi sekarang. Cepetan!"
"Tapi--"
"Lagi pada ngapain?"
Ucapan Albiza terpotong saat Noah dan Alfito datang sambil menikmati telur gulung di tangannya.
"Kepo." Lala mendelik.
"Yeh, gue tanya Lala poo. Bukannya masuk malah pada di luar, murid macam apa kalian?"
Alfito sudah terkekeh di sebelahnya. "Ngaca coeg!"
"Kita 'kan cowok Fito Zheyeng, udah biasa. Kalo cewek 'kan kek rada gimana gituuu,..."
"Jijik banget lo, bambang!" Alfito menjitak kepala Noah sambil bergidik.
Noah tertawa. "Masuk-masuk, kalo tiba-tiba ada guru 'kan bahaya, bisa dicap murid nakal kalian. Buru masuk!"
"Ish, kita lanjut nanti, ya?" Lala menarik tangan Albiza kembali ke dalam kelas.
•••
Hampir bertabrakan, namun sama-sama acuh. Itulah yang di lakukan Albiza dan Albian. Jauh di lubuk hatinya Albiza ingin sekali berkata bahwa dia tidak ingin seperti ini.
Terkadang, lebih baik tidak kenal sama sekali jika sudah kenal malah jauh. Memang ya, yang berlebihan selalu menyakitkan.
Seperti Albiza sekarang, mungkin dia terlalu dekat dengan Albian sehingga sekarang sedikit menjauh.
Karena jarak terjauh sebenarnya bukan di saat beda kota, beda negara, beda waktu, bahkan beda perasaan. Tapi ... saat berhadapan namun tidak saling menyapa.
Sempat beberapa kali Albiza mengetikan pesan, namun hanya diketik, tidak pernah di kirimkannya pada kontak dengan nama 'tripleks' itu. Ibaratnya, mengirim pesan duluan gratis, tapi gengsinya yang mahal.
Brak!
Albiza kaget saat ponselnya terkapar di atas lantai, cepat-cepat cewek itu mengambilnya.
"Ya ampun, untung gak kenapa-kenapa," Albiza sudah siap memarahi siapa pun yang membuat ponselnya jatuh, dia mendongak. "Lo kalo--"
Seketika mulutnya bungkam saat melihat Albian di hadapannya dengan pandangan datar. Antara senang dan sedih yang Albiza rasakan, senang karena matanya menatap mata Albian lagi, sedihnya seolah tidak pernah ada tatapan sehangat dulu pada mata Albian.
"Jangan lupa."
Albiza cegukan, apakah Albian kembali lagi menghampirinya untuk sekadar mengingatkan jangan lupa segalanya?
"J-jangan lupa apa?"
"Jangan lupa, kalo kita bukan siapa-siapa." ucapnya penuh penekanan.
Oh. Albiza tersenyum getir, memang apa yang dia harapkan? Bukankah mereka memang hanya berteman saja?
Albian meninggalkanya sekarang, Albiza kira cowok itu berbeda. Albiza kira Albian datang untuk menjadi penawar lukanya yang pernah ia rasa, setidaknya seperempat hatinya, namun nyatanya tidak sama sekali. Malah menjadi jeruk nipis yang menambah perih luka itu.
Selama ini, mereka berteman. Tidak ada yang spesial terjadi.
Itu kenyataannya.
Albiza saja yang berlebihan menganggap mereka lebih, padahal hanya teman yang 'saling' sayang, mungkin itu pun sebagai teman.
Tapi, Albiza merasa memang mereka sudah berada di luar batas kata 'teman' dan sahabat.
Tanpa sadar setetes kristal bening meluncur bebas dari sudut matanya. Ia menggigit bibirnya agar tidak terisak.
Haruskah semuanya berakhir?
-ALBIANZA-
Enjoy yap! See you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Albianza
Teen Fiction[ SUDAH TERBIT ] Gara-gara film Dilan, Albiza jadi baper sama Albian. Sialnya, Albian yang 'katanya' cuek pun jadi mulai luluh dan ikut bawa perasaan pada cewek yang sudah dua tahun berada dalam kelas yang sama dengannya--tepat duduk di sampingnya. ...