24 | Menolak Sembuh

4.4K 242 0
                                        

Debarku sederhana; hanya sebatas mendengar nama mu disebut, hati ini langsung berdebar. Tapi aku belum paham debar apa ini? Entah debar masih cinta atau mungkin debar pengingat luka?

•••

ALBIZA berkali-kali melirik pintu laboratorium komputer bergantian dengan melihat komputer di sampingnya, yang saat itu pemiliknya belum datang. Iya, itu kursinya Albian. Karena nama yang hampir sama absen mereka juga berdekatan.

Hari ini Ujian Nasional yang sebenarnya akan berlangsung, setelah melewati beberapa tahapan. Simulasi, Ujian Praktik, Ujian Sekolah, barulah Ujian Nasional. Dan selama itu pula Albiza seolah benar-benar orang asing dengan Albian.

Tidak ada percakapan, tidak ada pandangan, hanya ada beberapa tabrakan kecil namun selalu diacuhkan. Albiza masih sangat menginginkan Albian, dengan cara itu dia menolak untuk sembuh.

Lucu memang, Albiza masih saja mengingat kebersamaannya dengan Albian, padahal itu membuatnya mengulang luka yang sama. Parahnya, Albiza memang enggan untuk menjauh dari sana.

Dia, menolak sembuh. Karena sembuh tidak pernah terdaftar dalam perjalanan hidupnya. Karena baginya, kenangan itu adalah sakit yang asik. Apalagi tentang Albian.

"Lesu banget, galau lagi?" Albiza menoleh saat mendapati Alfito di sana--teman yang masih bisa dibilang berpihak padanya. Meskipun Albiza sudah menyakiti perasaannya.

"Nggak,"

"Gue udah tahu tentang lo sama Bian, kalian berantem?"

Albiza terkekeh getir. "Berantem? Atas dasar apa gue berantem sama dia? Bahkan gue sama dia bukan siapa-siapa,"

"Gue paham kok, Za. Lo sama dia itu sebenernya saling jatuh cinta. Lo sayang dia, dan dia sayang lo. Lo bahagia sama dia, dia juga bahagia sama lo. Tapi, kalian sadar kalo keadaan memaksa kalian bukan untuk saling memiliki."

Rasanya Albiza tertohok sekali dengan ucapan Alfito, memang benar, dia dan Albian sama-sama ingin, namun tak bisa. Entah kenapa, semuanya nampak sulit diutarakan.

Dan terjadilah Albiza yang menutup wajahnya dengan telapak tangan, menangis tanpa suara di sana. Menangisi nasibnya dengan Albian, yang mungkin sampai kapan pun tidak akan ada penyatuan.

"Kita dibatas, Fit. Perbatasan itu namanya 'teman'. Yang mencoba lebur karena nyaman, dia hanyalah dekat yang gue salah artikan. Hiks."

"Udah jangan di tangisi, Tuhan maha membolak balikan hati manusia, nanti juga dia paham dan, semoga kalian happy ending."

"Semoga."


•••

"Maaf bu, saya telat, motor saya tadi pagi mogok."

"Kamu Albian, benar?"

Mendengar nama Albian di sebut oleh pengawas, jantung Albiza berdebar--sial jantungnya masih saja merasa seperti itu. Dia melirik pintu laboratorium dengan ragu, dan benar saja melihat Albian di sana dengan rambut yang sedikit acak-acakan dan tangannya sedikit kotor dengan oli.

Cowok itu mengangguk. "Benar, saya boleh langsung ke komputer dan mulai, Bu?"

"Oke, usahakan jangan di ulangi lagi."

Albian mengangguk, dan matanya sempat berpandangan dengan Albiza, refleks Albiza langsung kembali memandang komputernya dan pura-pura fokus membaca soal, meski pikirannya sudah diambil Albian sepenuhnya.

Ingin rasanya dia bertanya, tapi dia memilih untuk sadar diri. Seolah paham dengan kegelisahan Albiza, Alfito memanggil Albian membuat cowok itu menoleh. Strategis, Albiza berada di tengah-tengah mereka sehingga dapat mendengar dengan jelas.

"Kenapa lu?"

"Motor gue mogok, mana ini masih pagi belum ada bengkel buka. Untung gue bawa alat-alat dan cukup paham sama otomotif."

Tanpa sadar, Albiza bernapas lega. Tubuhnya yang semula menegang kini menurun dengan sendirinya.

Alfito tersenyum. "Ya udah sana kerjain, nanti beres Ujian gue traktir."

Albian mengernyit. "Dalam rangka apa?"

"Pacar baru dong."

Albiza refleks menoleh. "Siapa?"

Alfito tertawa. "Hh, gue baru aja jadian sama Novia, mau Pajak lo berdua? Nanti setelah ini jangan pada pulang dulu, nanti sama Novia juga kita makanya."

"Hah!?" Albiza nampak kaget, begitu pula dengan Albian, namun cowok itu tidak terlalu menunjukkannya.

"Gue nggak ikutan." sahut Albian dan Albiza bersamaan, lantas keduanya saling menoleh.


"Gue ikut." bareng lagi, hal itu membuat Alfito tersenyum.

"Udah gak usah saling menghindar gitu kalo sama-sama sayang, gue tunggu setelah dzuhur di kantin mang Opek."

•••

Tujuh menit berlalu, Albiza malah sibuk memainkan makanannya tanpa berniat untuk dimasukannya ke dalam mulut. Tidak berselera.

"Za, yang gue. tahu lo cinta mati sama seblak. Kenapa nggak di makan?" Alfito terkekeh.

"Kayanya lo tahu banyak tentang si pelakor itu," sahut Novia.

"Nov," Alfito mengingatkan. "Gue kan dulu--"

"Bentar," Albiza mengambil ponselnya yang bergetar di dalam saku rok, melihat nama penelepon dam tersenyum senang.

"Hai, Nenek!"

"Sayang ... kamu udah beres ujiannya? Bisa pulang sekarang, 'kan, nak?"

Senyum Albiza yang semula lebar kini meredup, suara neneknya terdengar parau. "Nenek sakit?"

"Kamu cepet pulang aja ya sayang,"

"Apa mungkin ini karena Nenek kangen Biza, ya?" Albiza terkekeh. "Sebentar ya, Nek, Biza lagi--"

"Mama kamu, hiks"

"Mama kenapa?" Albiza menegakkan tubuhnya. "Sekarang Nenek di mana?"

"Nenek udah pesan grab dan sebentar lagi datang, kamu siap-siap ya sayang,"

Albiza segera meminum es teh-nya dan menggenggam ponsel kuat-kuat. "Gue duluan ya,"

"Kenapa?" refleks Novia bertanya, meskipun hubungannya dengan Albiza sedang tidak baik-baik saja. Hari nuraninya ikut merasakan khawatir.

"Rumah sakit Santosa," Albiza menggigit bibirnya, memandang Alfito, Novia, dan Albian sendu dan cukup lama. "Kalo mau,"

Dan Albiza berharap, Albian akan datang menemuinya, setidaknya jika cowok itu masih peduli.

-ALBIANZA-

Enjoy! Doain beres sebelum lusa dong hehe biar plong akunya:") dan udah greget mau publish cerita baru wheehe😂

Enjoy yep🤗

AlbianzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang