[ SUDAH TERBIT ]
Gara-gara film Dilan, Albiza jadi baper sama Albian. Sialnya, Albian yang 'katanya' cuek pun jadi mulai luluh dan ikut bawa perasaan pada cewek yang sudah dua tahun berada dalam kelas yang sama dengannya--tepat duduk di sampingnya.
...
Selamat jalan, untuk orang yang tersayang. Semoga tenang.
•••
HARI ini pemakaman Andira--mama Albiza--dilaksanakan, banyak orang-orang berpakaian hitam yang mengantarkan ke sana.
Banyak bunga yang diberikan untuk peristirahatan terakhir Andira, turut berduka cita. Di batu nisan itu terukir nama mamanya dengan rapi di papan kayu; ini bukan mimpi.
Albiza masih setia mendampingi rumah terakhir mamanya, menatap nisan itu tidak percaya. Tanpa kacamata hitam Albiza masih saja menangis, Albiza tidak ingin seperti Papa dan mama tirinnya--yang menyembunyikan kesedihan dibalik benda itu.
"Sayang, pulang yuk? Besok kita ke sini lagi," Andi membujuk agar Albiza mengilkhlaskan mamanya, diikuti anggukan dari Andin.
"Iya Za, ini udah hampir malam. Besok pulang sekolah kamu kita ke sini lagi, ya?"
Albiza menoleh. "Papa sama Mama--" sesaat Albiza terdiam, apakah tidak salah memanggil Andin dengan sebutan 'mama?'. Cewek itu berdeham, canggung. "--duluan aja, Biza mau cerita dulu sama Mama, nanti nyusul."
Albiza memeluk batu nisan itu, mengecupnya dan memberikan bunga babybreath putih di samping fotonya. Memang sengaja Albiza memilih bunga yang paling indah untuk seseorang yang paling indah juga dalam hidupnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Hai, Mama terbaik di duniaaaaa, Biza kasih bunga paling indah untuk yang terindah," Albiza tersenyum getir.
"Mama yakin mau pergi? Mama capek ya sakit terus? Kenapa Mama nggak pernah cerita kalo akhir-akhir ini Mama ngerasain sakit lagi? Hiks...." air matanya tumpah lagi, merasakan luka yang menganga di hatinya. Kehilangan dua orang, mama, dan... Albian--yang mungkin tak akan kembali lagi. Tak lupa papanya, yang juga sempat meninggalkannya.
"Biza kira, Mama udah sembuh total, Mama nggak pernah nunjukin kalo mama sakit lagi. Itu kerja keras ngurus Biza ya, Ma? Maaf bikin mama sakit lagi,"
"Biza seneng banget bisa punya Mama kayak Mama Andira, Mama terbaik, terhebat, terkuat yang Biza kenal, meskipun kadang galak hehe. Yang udah rawat aku sampai sebesar ini, bahkan tanpa Papa. Harusnya mama jadi contoh emansipasi wanita," Albiza terkekeh, meskipun tawa kesakitan.
"Ma, jangan lupa datang di mimpi aku, ya? Sering-sering, biar aku nggak kangen terus. Hikss...."
Tanpa Albiza sadari, Andi dan Andin sedari tadi menunggunya dibelakang, ikut menangis melihat Albiza yang bermonolog dengan makam Andira.
Dengan derai air mata yang kian deras, Albiza memeluk gundukan tanah itu sekali lagi, memandang foto cantik Mamanya.
"Ma, terimakasih untuk perjalanan panjang selama ini. Makasih udah besarin Biza sendirian, Biza sayang banget sama Mama ..."
"Biza pulang dulu, Biza janji bakalan sering-sering nemenin Mama di sini. Biza bakalan kangen banget sama Mama, kangen diomelin, dimanjain, tidur sama Mama, kangen di ambil raport sama Mama dan diomelin kalo nilai turun, kangen cerita tentang--" Albiza meneguk ludahnya sesaat, tengorokannya terasa terganjal saat akan menyebutkan nama seseorang. "--tentang Bian, cowok yang berjasa bantu Biza move on dari Cello, tapi juga sama nyakitinnya. Bian jahat, Ma, hiks...."