"Kegagalan ibarat tanda koma dalam sebuah kalimat. Dia membuat jeda, tapi tidak membuat henti hingga akhir sebuah titik. Dia memberi kesempatan untuk memperbaiki dan melanjutkan hidup hingga titik bahagia."
-Lia-***
Okey i'm ready.
Selama dua bulan dalam keadaan bego, itu terasa sangat lama. Aku sadar kalau aku memang terlalu naif dan labil dalam hal ini. Uh, aku tidak habis pikir kalau aku pernah seegois itu. Dan saatnya aku memilih jalanku.
Aku berdiri di depan cermin. Menatap diriku yang berantakan ini, kantung mata yang mulai terlihat, hidung merah, mata bengkak, dan kini aku terlihat sangat kurus. Uh, aku benar-benar sedang buruk.
Aku menghelah nafas gusar, mencoba menenangkan diri dan menjernikan pikiranku. "Okey, gue siap untuk kali ini."
Aku sedikit merapikan rambutku yang berantakan, kemudian melangkah keluar kamar untuk menemui seseorang yang pasti masih kesal padaku hingga saat ini, ia adalah Fauzan.
Dengan menggunakan jeans hitam selutut dan switer biru mudah, aku berjalan menyusuri gang komplekku menuju rumah Fauzan. Karena jarak rumahku dan rumah Fauzan yang cukup dekat, jadi aku memilih berjalang kaki untuk menikmati udara sore yang sejuk.
Ah, aku sudah hidup kembali.
Aku sudah sampai di depan rumah terbesar di komplek ku. Rumah yang bernuangsa modern dengan gazebo yang sangat luas. Yah, itu adalah rumah sahabatku Fauzan.
Namun, aku ragu melangkah masuk ke halaman rumah itu. Entah kenapa aku merasa tidak pantas berada di tempat ini, mengingat kejadian dua bukan yang lalu. Kejadian menyedihkan dan membuat aku menggila untuk beberapa hari.
Aku paham sekali kalau waktu itu pasti Fauzan sangat tersinggung karena ucapan ku yang super nyebelin. Uh, memang terkadang aku ingin menyalakan diriku atas sikap kekanak-kanakanku.
Benar-benar takut, kakiku bahkan bergetar jika aku angkat untuk melangkah masuk ke rumah Fauzan. Karena menuruti perasaan bersalahku, akhirnya aku memutar langkahku kembali kerumah.
"Lia!"
Langkahku terhenti saat sebuah suara memanggil namaku dari belakang. Aku menoleh, dan mendapati seorang wanita seumuran mama berdiri seraya tersenyum ke arahku. Tangannya memegang selang dan menyiram bungan di sekitar halaman rumah.
Setelah terdiam sejenak, akhirnya aku berjalan ke arahnya kemudian menyalami tangannya. Ia tersenyum ke arahku seraya membelai rambutku.
"Ga jadi masuk, tadi?" tanya wanita itu seraya meletakkan selang tadi di tanah.
"Hm, anu Tante...."
Belum sempat melanjutkan ucapanku, wanita itu meletakkan punggung tangannya di dahiku sembari berucap, "kata Fauzan kamu sakit. Gimana sayang, udah enakan?"
Bisa ku lihat dari sorot matanya, wanita ini sangatlah tulus. Wanita yang sudah aku anggap orang tua sendiri. Sikapnya yang lemah lembut membuat aku sangat nyaman di dekatnya.
Aku tersenyum manis berusaha menghilangkan rasa khawatir di wajahnya, "gapapa kok, Tan. Oh iya Tante Sari, Ozan mana?"
Tante Sari ikut tersenyum kecil kemudian kembali meraih selang yang tadinya dia letakkan di tanah, "di kamarnya. Akhir - akhir ini dia diem trus. Samperin aja sana!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fauzadith #Wattys2019
RomanceWaktu yang aku habiskan untuk kisah panjang ini, tidak bisa dikatakan sebentar. Tuhan membuat aku terlalu lama, dipermainkan takdir. Semua berawal disaat kisah kita berakhir. Copyright©2018 by Ufhy62