Fauza(dith) 11 - Luka Lama

71 14 0
                                    

Turn on music: Calum Scott-You are the reason

"Percayalah! Ada yang mengkhawatirkanmu, meski dia tak pernah menunjukkan itu padamu."

***

"Lia."

Lia tersadar dari lamunannya. Angin malam dan punggung Fauzan yang nyaman membuat dia terlarut dalam lamunannya. Entahlah, apa yang Ia lamunkan. Tapi, rasanya malam itu ada yang beda diantara dia dan sahabatnya.

Seharian tadi, Lia berada di rumah Fauzan. Bahkan makan malam di rumah Fauzan. Hubungan mereka kembali seperti semula, hubungan antara sahabat yang hangat seperti beberapa tahun yang lalu.

Kini Fauzan tengah mengantar Lia pulang menggunakan motornya.

"Hmm, apaan?!" gumam Lia masih betah menyandarkan kepalanya di punggung hangat Fauzan, hal itu sudah jadi kebiasaannya dari sejak mereka SMP. Tangannya yang melingkar di pinggang Fauzan membuat suhu diantara mereka menghangat.

"Hmm..."Fauzan ikut bergumam. Ada suatu hal yang tidak tersampaikan dari bibirnya. Bibirnya terasa kaku untuk sekedar mengobrol dengan Lia."...lo yakin udah benar-benar lupain Adith?"

Lia mengangkat kepalanya dari punggung Fauzan, dengan dahi yang mengerut. "Kenapa nanya gitu?"

Suasana diantara mereka kini terasa canggung. Ada hal yang berbeda diantara dua sahabat itu.

Fauzan tersenyum simpul tanpa menjawab pertanyaan Lia. Tangannya dengan pelan menarik tangan Lia untuk semakin erat di pinggangnya, "pegangan dong."

Jantung Lia berdetak dengan cepat. Tubuhnya tiba-tiba bergetar karena sentuhan tangan Fauzan. Ada apa yang membuat hubungan dua insan yang dulunya sangat akrab kini terasa canggung. Apa karena sebuah perasaan yang kini telah berubah lebih dalam?

Lia ikut tersenyum kemudian kembali menyandarkan kepalanya di punggung Fauzan, ada kenyamanan di balik sosok itu. Sosok sahabat yang mengisih hidupnya dari kecil hingga sekarang, bahkan kasih sayang nya lebih seperti seorang kakak.

"Udah sampai Li," satu tepukan pelan membuat Lia kembali tersadar dari lamunannya, "ga usah terlalu nyaman gitu Cumi."

Lia bangkit dan turun dari motor Fauzan kemudian mencubit gemas lengan Fauzan. "Dih! siapa juga. Udah sana pulang, besok mulung!"

Lia memutar langkahnya hendak masuk ke rumah, namun tangan Fauzan dengan cepat menarik pergelangan tangannya hingga tubuh menabrak lengan Fauzan.

"Enak aja, emang gue pemulung!" Ucap Fauzan tidak terima. Mereka berdua tertawa, lepas. Suasana diantara dua orang itu semakin menghangat, "Ya udah gue balik!"

Hanya di balas anggukan dan senyum dari Lia. Fauzan mengendarai motornya menjauhi rumah Lia yang sudah terlihat sepi.


Sedangkan Lia, dia segera masuk ke rumah dan untungnya pintu tidak di kunci. Karena Rosa ketiduran sehingga lupa mengunci pintu.

Lia langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Serangkaian peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini membuatnya lelah. Kesunyian malam itu membuat dia semakin tenggelam dalam kesendirian. Lia merogoh kantongnya mengeluarkan ponselnya dan kembali melihat pesan-pesan yang dia kirim untuk Adith. Dan yang paling membuatnya ingin terkekeh adalah pesan-pesannya yang di read aja tidak.

Untuk mengusir kesunyian malam itu, Lia memutar lagu favoritnya dan mulai memejamkan mata menikmati alunan musik.

***

Kring...Kring...

Suara jam weker kini menggemah di seluruh sudut kamar Lia. Namun, gadis itu masih tertidur pulas karena setelah dua bulan akhirnya dia bisa tidur senyenyak tadi malam.

Lia menggeliatkan tubuhnya, seraya mengucek-ucek matanya.

"Hoam," gumam Lia kemudian beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Mulai kembali hidup normal, jauh dari beban yang Dia tanggung dua bulan yang lalu.

Setelah shalat subuh, Lia keluar kamarnya menggunakan baju lengan pendek polos dengan celana jeans selutut. Rambutnya yang basah di biarkan tergerai begitu saja.

"Mah," sapa Lia seraya memeluk manja Rosa dari belakang yang tengah memasak tumis kangkung kesukaan Papa Lia.

"Emm." Gumam Rosa masih sibuk mengorek-orek panci.

Lia semakin mengeratkan pelukannya kemudian menyandarkan kepalanya di pundak Rosa,"Ma, Lia mau ke London ya?"

"Apa?"

Dengan sigap, Rosa mematikan kompor dan berbalik menatap putrinya dengan tatapan kesal sekaligus kaget. "Ngapain sih sayang, kamu itu baru baikan lho?"

Lia hanya tertunduk melihat respon Rosa yang jelas-jelas pasti akan melarangnya untuk pergi ke London. Itu bisa di maklumkan karena Rosa tau kalau putrinya masih dalam proses melupakan orang yang hampir saja membuat hidup putrinya hancur.

"Ga Lia, Mama ga setuju kamu pergi dari Mama. Lia, kamu tega ninggalin Mama sendirian?"

Sebenarnya Lia tau kalau keputusannya ini sangat mendadak. Tapi dia yakin dengan adanya Fauzan bersamanya, dia akan baik-baik saja di sana.

Lia menarik tangan Rosa duduk di meja makan, "Ma, Lia sayang sama Mama. Tapi, Lia mau mandiri Mah. Lia mau ngejar mimpi Lia yang sempat tertunda karena masalah yang ga penting. Dan ini juga Lia lakukan buat ngelupain masalah itu."

Tatapan Rosa mulai melemah melihat wajah putrinya yang terlihat mencoba tegar. Tangan Lia yang menggenggam erat tangannya seakan membuatnya tak bisa menolak.

"Tapi--"

"Assalamualaikum." Terdengar suara laki-laki dari luar. Dengan cepat, Rosa beranjak membuka pintu tanpa melanjutkan ucapannya yang terjeda.

Siapa ya?
-Batin Lia

"Papa?" Ucap Lia setengah berteriak saat melihat seorang laki-laki membawa koper masuk ke ruangan keluarga seraya tersenyum hangat.

Sosok Heri yang hangat. Sosok Ayah yang membuat Lia selalu manantikan kedatangannya yang datang sebulan sekali dari Bandung karena urusan pekerjaan.

Tak ingin mengulur waktu, dengan cepat Lia memeluk tubuh kokoh sosok Ayah yang selama ini Dia rindukan. "Papa kok ga bilang ke Lia kalau mau dateng, Lia kangen lho sama Papa."

Heri hanya tersenyum hangat seraya membelai rambut putrinya dengan lembut. Gadis kecil yang kini telah menjadi seorang wanita yang cantik." Jadi, Papa ga di suruh duduk dulu nih?"

Rosa hanya tersenyum seraya menggeleng pelan melihat keakrapan Ayah dan anak itu, Kemudian berlalu begitu saja membawa koper Heri ke kamar.

Lia sangatlah dekat dengan Heri, karena beliau adalah typical seorang Ayah yang terbuka dan sudah seperi teman bagi Lia.

Kini Lia dan Heri tengah mengobrol hangat di ruang keluarga. Sesekali kedua insan itu terkekeh karena hal-hal yang sudah lama mereka tidak lakukan.

"Gimana Adith?!" tanya Heri seketika membuat senyum di wajah Lia memudar, "Nanti kita berangkat bareng ke Bandung ya."

Lia hanya terdiam terteguh atas pertanyaan Heri yang amat memyakitkan. Hal yang selama ini berusaha dia lupakan, tapi diangkat dan diungkit kembali. Rasa perih di hatinya kini kembali terasa. Bukan hanya itu, dia tidak tau harus mengatakan apa karena Ia tau kalau Heri sangat mendukung hubungannya dengan Adith. Apa yang akan Heri katakan bila Lia memberi tau kalau Adith memutuskannya.

Apalagi dengan alasan yang tidak jelas dan kejam, pastinya Heri akan kecewa seperti dirinya. Dan Lia tidak ingin itu terjadi.

Kenapa papa harus mengangkat luka lama yang hampir tenggelam
-Batin Lia.

"Lia kok diem?"

Fauzadith #Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang