Fauza(dith) 08 - Bleed

89 18 3
                                    

Turn on music: Anji-menunggu kamu

"Senja kali ini terasa berbeda. Dia tertutup mendung, sama seperti kamu yang kini melupakanku karena telah bersama dia yang berasal dari masa lalumu."

***

Langit sore terlihat gelap di Jakarta. Mendung menghalangi cahaya senja yang biasanya terlihat indah. Seperti halnya hati gadis yang kini tengah terduduk di kursi taman Kendaki bersama seorang cowok.

Dia terlihat begitu terpuruk. Air mata di sudut matanya tak henti-hentinya menetes. Ada sebuah hal yang tak tersampaikan di benak cewek itu.

"Kenapa Dith, kenapa lo tega lakuin ini ke gue!" gumam gadis itu seraya terus menangis. Tangannya yang mengepal kuat memukul gagang kursi besi yang tengah Ia duduki sekarang.

"Gue capek," rintihan itu perlahan hilang. Namun, tangan gadis itu tak henti-hentinya memukul kursi itu hingga tangannya terlukan.

"Astaga Cumi, lo kenapa gini sih. Udahlah Adith udah pergi." ucap Fauzan mencoba menenangkan Lia yang merontah tidak jelas sehingga melukai dirinya sendiri.

Mata Fauzan tertujuh menatap darah segar yang keluar dari tangan Lia. Dengan cepat, dia merobek kausnya dan melilitkannya di tangan Lia. "Kenapa pake acara ngelukain diri sendiri sih?!"

Lia masih terus menangis, tak ada yang dapat mengalihkan pikiran gadis itu dari Adith. Perasaan sakit yang dia rasakan sangat teramat perih.

"Kita pulang aja." ajak Fauzan tanpa izin menarik tangan Lia dengan lembut.

***

Berbeda dengan kemarin saat Fauzan mengantar Lia pulang di tengah lebatnya hujan, Lia tidak ingin melepaskan tangannya di pinggang Fauzan. Tapi, kali ini dia berjalan masuk mendahului Fauzan yang baru saja membuka helmnya.

"Eh Lia udah pulang, makan yuk!" sapa Rosa lembut. Niatnya dia ingin membuat putrinya lebih baik, namun Lia berlalu begitu saja tanpa menghiraukan sapaan Rosa.

Dikamarnya, Lia duduk di tempat Favorit nya yaitu kursi dekat jendela. Gadis itu menatap luruh dengan pikirannya yang sudah kemana-mana. Memory-memory nya bersama Adith kembali seakan di putar seperti film.

Lia adalah gadis pintar, namun entah untuk menahan tangis dan amarahnya sekarang itu sangat sulit baginya. Tatapan nya kosong dan gelap. Ia benar-benar putus asa dengan hubungannya.

Cewek mana yang tidak akan kecewa jika mengetahui kalau orang yang dia cintai pergi bersama orang lain 'sehari' setelah putus. Bayangkan, hubungan selama dua tahun itu digantikan dengan hubungan dalam satu hari. Wah your love is amazing.

Perlahan-lahan seseorang menghentikan langkahnya di samping Lia. Tatapannya penuh arti yang tidak bisa di tebak.

"Woe Lia, lo kok cengeng sih? come on Cumi." percobaan pertama Fauzan untuk membuat Lia tersenyum, gagal. Sesunggunya Fauzan ingin sekali menarik tubuh Lia ke dalam pelukannya dan menenangkannya. Tapi, Lia itu berbeda. Perlakuan seperti itu akan semakin menyakitinya.

"Cumi gue serius..." Fauzan menatap Lia dengan ekspresi seriusnya. Lia adalah Adiknya jadi, dia akan mengambil tindakan jika dia sedang dalam keadaan seperti ini. "Lo harus-

"CUKUP!"

Terdengar sentakan keras saat Lia memukul meja yang ada di depannya. Itu membuat Fauzan terdiam memberi Lia kesempatan untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan. Itu lebih baik.

"Lo!" tatapan Lia beralih menatap mata minimalis Fauzan. Terlihat jelas, mata gadis itu memberikan peringatan ke arah Fauzan, "Lo bisa ngembaliin semuanya seperi awal?"

Fauzan diam.

Lia tersenyum sinis terlihat meremehkan Fauzan." ga akan, Za. Lo nggak akan bisa ngembaliin semuanya seperti awal dengan hanya terus mengejek gue sama ocehan lo."

Apa itu terdengar jahat? tentu saja. Ucapan Lia sangat terdengar kasar, buktinya Fauzan tak bergeming masih menatap Lia dengan tidak percaya. Memang dia seperti bukan Lia yang sebenarnya.

Lamunan Fauzan pecah saat Lia dengan sengaja membanting vas bunganya tepat di depan Fauzan. "Dan...Lo ga usah ngatur-ngatur gue Zan. Emangnya lo siapa, gue?"

Pecahan vas tadi diasusul dengan bingkai-bingkai foto yang terpasang berjatuhan karena ulah gadis itu, " Lo bukan Adith, lo Fauzan Ahmadian yang ga akan bisa jadi Adith!"

Lia merontah dan menggila. Dalam hitungan detik, kamarnya sudah berantakan. Kini tangannya meraih gitar klasik berwarna coklat pemberian Adith, hendak membantingnya ke lantai.

"Stop, Li!"

Gerakan Lia terhenti kemudian menatap Fauzan. Mata itu, mata yang biasanya menebar kehangatan bagi siapa saja, berkobar bagaikan api. Yah, tentu saja Fauzan marah. Sikap Lia yang sedikit naif dan egois membuatnya tidak tahan lagi.

"Gila ya lo. Lo boleh cinta --tapi jangan bego. Lo mau ngancurin kamar lo? gue bisa bantu. Tapi, apa dengan itu Adith bakalan balik sama lo?" kini giliran Lia yang mengalah dan terdiam.

Tubuh Lia mulai lemas dan melemah. "Dari dulu lo memang bego ya, Li. Apa lo ga mikirin bokap lo, Om Heri. Kenapa lo diam Lia? Ayok ancurin semua supaya Adith bisa bahagia liat lo menderita."

Kini tatapan Fauzan makin menajam, "Kemana Lia si penulis kisah cinta yang indah itu, apa dia tidak bisa menulis perjalanannya sendiri. Semua orang punya impian Li, termasuk lo. Lo lupa?"

"Fuc-" Fauzan berhenti sejenak menahan umpatan yang hampir saja melesat dari bibirnya. Meski sedang marah, Fauzan sadar kalau dia sedang bicara dengan seorang cewek. Fauzan menghelah nafas gusar kemudian mendekat ke arah Lia yang kini duduk tertunduk di pinggiran tempat tidur. "Dan gue ga mau jadi Adith. Gue mau selalu ada buat lo, bukan cuma sesaat."

Perlahan, Lia mendongakkan kepalanya dan terlihat matanya merah dan bengkak akibat air mata. "Lo pikirin semuanya matang-matang. Ingat jangan ngambil keputusan sepihak, lo pasti tau rasanya."

Dengan intonasi penuh amarah, Fauzan pergi dari hadapan Lia seraya membanting pintu. Ya, Lia tentunya tidak menyangka ada sisi lain di balik Fauzan yang konyol dan tengil.

itu adalah pertama kalinya Fauzan semurka itu di depan Lia.

***








Fauzadith #Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang