Aku menatapi langit-langit kamarku. Hari ini hari libur. Selimut tebal masih setia menemani pagiku. Aku berganti posisi menjadi duduk. Kuhela nafas kasar. Waktu masih pukul 04.30 dan ternyata mataku sudah terang benderang saja.
"Kau kenapa, Dira?" tanya Tere yang berhasil mengagetkanku.
"Ya Ampun! Kamu mau bikin jantungku copot ya, Tere?" tuduhkau sembari mengusap dada.
Tere terkekeh.
"Kalau jantungmu copot, berarti kau akan sama sepertiku, Dira," ujarnya.
Aku melotot tajam ke arahnya.
"Belum! Belum saatnya. Aku masih ingin jadi dokter, jadi photographer, jadi penyanyi, dan masih banyak lagi. Aku ingin sukses dulu," ujarku.
Dia masih terkekeh saja.
"Banyak sekali kemauanmu, Dira. Dulu aku juga sama sepertimu," ujarnya yang mulai menduduki tempat tidurku dan sedikit membenarkan seprai yang berantakan.
"Memang kau dulu mau jadi apa?" tanyaku dengan antusias.
Dia tersenyum.
"Dulu aku ingin jadi pilot, ingin jadi astronot, dan ingin sekali jadi nahkoda. Banyak, bukan?" tanyanya dengan kekehan kecil menghiasi wajah tampannya.
Aku mengangguk setuju.
"Banyak sekali," komentarku.
Dia menatapku dalam-dalam.
"Tapi semua itu takkan jadi kenyataan, Dira," lirihnya.
Ia menunduk selama beberapa detik. Aku bersiap menunggunya untuk bercerita.
"Ayahku tidak membiarkanku meraih cita-citaku. Ia menginginkanku menjadi prajurit pembela negaranya," ujarnya.
Aku masih fokus mendengarkan ceritanya.
"Ayahku seorang prajurit Belanda atau apa lah itu aku lupa. Ibuku seorang wanita asal Amerika." Dia menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan.
"Ambisi Ayahku yang membuatku jadi begini," lirihnya.
Aku mendekatinya, tersenyum, dan menepuk pundaknya.
Ia menatapku.
"Ayahku jahat, Dira. Dia memukuliku jika aku tidak mau belajar walau hanya satu kali. Terkadang ia menempeleng kepalaku jika aku masih bersikeras bermain dengan anak pribumi," terangnya.
"Hingga pada suatu ketika, aku sedang bermain mobil-mobilan. Saat itu Ayah dan Ibuku sedang bertengkar hebat. Aku hanya bisa mengurung diri di kamar. Hingga akhirnya, Ayah menarik paksa tubuhku. Membawaku ke gudang bagian belakang rumah. Ibuku berteriak-teriak untuk meminta ayah memberhentikan aksinya, namun hal itu tak sedikit pun digubris oleh Ayah. Ia mulai mendorongku masuk ke sebuah lubang. Aku terdesak di dalam sana."
Tere makin menundukkan kepalanya.
"Baunya busuk, anyir, dan amis. Aku hampir mual dibuatnya."
"Aku menengok ke arah belakangku. Di sana terdapat banyak sekali kain-kain yang berlumuran darah."
"Ayah terlihat memegang senapannya. Secara sengaja, senapan itu mulai di arahkan kepadaku."
"Ibu menangis sembari menarik-narik baju ayahku, tapi ayah tak berniat untuk menggagalkan apa yang ingin ia lakukan," ujar Tere yang terdengar sangat pilu.
Aku tercengang mendengarnya.
"Tak butuh waktu 5 detik, peluru itu sudah tembus tepat di ulu hatiku. Aku tak tahu apa yang terjadi, Dira. Seketika aku telah keluar dari jasadku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bisikan Mereka ✔
HorrorRevisi terbaru. "Dira ...." "Dira ...." "Pergi! Kau siapa?" Aku menutup telinga kuat-kuat sembari memekik dalam hati di tengah gelapnya ruangan kamarku. Aku hanya bisa bersembunyi di balik selimut dengan perasaan campur aduk. "Aku tahu kamu dapat m...