"Aduh, Dira, kenapa kau hujan-hujanan, sayang? Mamah harus larang Dira berapa kali? Kok Dira mulai bandel, ya?" Mamah memandangku dengan wajah yang sedikit kecewa. Aku hanya bisa menunduk sembari menyesali perbuatanku.
"Maaf, Mah. Dira hanya ingin merasakan hujan saja, Mah. Sudah lama Dira tidak merasakan hujan lagi." Kugigit bibir bawahku dengan sedikit keras karena rasa bersalah yang semakin jelas terasa di hatiku.
Mamah mulai meluluh dan mengelus kepalaku yang telah basah karena siraman air hujan tadi.
"Ganti baju. Nanti kalau kau sakit, siapa yang khawatir?" Mamah menghela napasnya dengan cukup berat dan tersenyum perlahan.
Aku menganggu dan langsung berlari menuju kamar mandi. Kuatur air panas untuk mandi.
Sehabis mandi, aku tak pernah lupa untuk menghanduki badan dan memakai lotion sebagai perawatan rutin untuk kulit dan wajah.
"Hachi...."
Badanku terasa menggigil, menandakan flu mulai menjalar di hidungku. Rasa panas sudah melekat di seluruh tubuh.
"Hachi...."
Kini baru kusadari bahwa diriku terserang demam dan flu. Kugapai minyak kayu putih di atas laci dan mulai menggosok-gosokannya ke tanganku, berharap hawa dingin bisa hilang dari sela-sela tangan.
"Dira minum susu dulu saya–"
"Hachi...."
Mamah menatapku perlahan. Ia pasti mengetahui keadaanku sekarang.
"Dira mau ikut kata Mamah atau mau bandel lagi?" tanya Mamah dengan lembut sembari mengelus puncak kepalaku.
"Dira ikut kata Mamah. Maafkan Dira, Mah," ujarku sembari menyatukan kedua tangan dan menunduk.
Mamah mengangguk dan tersenyum hangat. Ia menempelkan tangannya di keningku.
"Auh, panas sayang. Berobat, ya?"
"Enggak usah, Mah. Minum obat saja. Dira enggak mau ke rumah sakit."
Mamah memahami diriku yang selalu menolak jika dibawa ke rumah sakit. Tentu saja Mamah juga akan mengkhawatirkan jikalau nanti aku bertemu dengan bangsa 'mereka'.
"Mamah mau beli obat dulu, sayang." Mamah mengambil beberapa alat yang diperlukannya dari kamarku.
"Mah, Papah ada di rumah?" tanyaku.
"Papah belum pulang. Mungkin habis maghrib. Kenapa, sayang?" Barang-barang yang dibawanya kini di masukkan ke dalam tas kecil.
"Mamah naik apa ke apotiknya?" Kumainkan rambutku sembari memegang dahiku yang memang sangat terasa panas.
"Mobil. Kau kenapa, Dira? Sepertinya ada yang kamu khawatirkan." Mamah menatapku dengan sedikit intens.
"Dira ikut mamah, ya. Dira enggak mau sendiri di rumah," pintaku sembari memainkan ujung baju kaos yang kupakai.
Mamah mengulas senyumannya dan mengecup keningku singkat. "Siap-siap sekarang."
"Dira sudah siap, Mah." Aku memperlihatkan setelan bajuku yang memang selalu terlihat rapih.
"Pakai jaketmu. Di luar dingin." Mamah mengambilkan sebuah jaket berwarna merah jambu dengan hiasan unicorn lucu dan memakaikannya kepadaku.
"Mah, Dira bukan anak kecil lagi." Aku terkekeh sembari menikmati perlakuan Mamah yang bagiku berlebihan.
"Mamah enggak mau menyia-nyiakan masa remajamu, Dira. Mamah enggak mau nanti kalau kamu sudah memiliki pendamping hidup, Mamah yang menyesal karena tak sempat memanjakan anak Mamah yang cantik ini." Ia kembali mengecup keningku. Aliran cintanya memang tak pernah ada habisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bisikan Mereka ✔
HororRevisi terbaru. "Dira ...." "Dira ...." "Pergi! Kau siapa?" Aku menutup telinga kuat-kuat sembari memekik dalam hati di tengah gelapnya ruangan kamarku. Aku hanya bisa bersembunyi di balik selimut dengan perasaan campur aduk. "Aku tahu kamu dapat m...