"Lo yakin mau nemuin Belia?" tanyaku pada Muhzeo.
Muhzeo hanya mengangguk.
"Gua enggak bisa kayak gini terus, Dir. Hawanya enggak enak kalau gua dekat sama dia, tapi kalau menjauh, kenapa malah makin enggak enak?" Muhzeo terus mengumpat perempuan bernama beliau itu.
Belia Fanycya, gadis primadona yang beberapa hari ini sedang tersohor dan naik daun di sekolahku.
"Memangnya lo enggak merasa aneh sama dia?" tanya Muhzeo geram.
"Lumayan, sih," ujarku sambil menopang dagu.
Muhzeo langsung menarik tanganku ke arah ruang kelas Belia yang terletak di ujung koridor.
"Gua butuh bicara sama lo!" Muhzeo menatap datar saat berada di kelas Belia
Gadis itu tampak tenang sembari memperlihatkan gaya anggunnya. "Oh, Muhzeo? Mau di mana kita bicaranya? Terus kenapa harus ada dia, sayang?" Aku terkejut saat Belia menyebut Muhzeo dengan panggilan sayang. Terlebih lagi dia menunjuk ke arahku dengan tatapan sinis.
"Ini privasi soal kita, 'kan?" Aku semakin kaget saat Belia mendekat ke arah Muhzeo dan mengusap leher lelaki itu tanpa rasa malu di depan semua teman kelasnya.
Aku kesal bukan main. Apa maksudnya semua ini? Demi apapun aku tak menyukai pemandangan yang terkesan menjijikan ini!
"Erh.. Menjauh!" Muhzeo nampak berusaha menjauhi perempuan itu.
"Kenapa? Bukankah kau menyukainya?" Ucapannya semakin liar dan tak segan untuk mendekati Muhzeo lagi.
Muhzeo bergeming di tempat. Entah sadar atau tidak, ia menerima perlakuan Belia tanpa melakukan perlawanan lagi.
"Cukup!" Aku pergi meninggalkan mereka berdua.
"Dira tunggu!" Teriak Muhzeo.
"Suth! Biarlah dia pergi. Kau bersamaku saja."
Aku benar-benar berusaha menahan emosiku. Untuk pertama kalinya aku melihat Muhzeo bermesraan dengan perempuan. Untuk saat ini, ia benar-benar melupakanku untuk orang sehina itu.
Rasa sakit seketika bergemuruh di hati. Apa sebenarnya? Mengapa Belia dengan mudah bisa membuat Muhzeo luluh seperti itu? Kuyakin Muhzeo bukan tipe lelaki serendah itu!
Aku menangis di depan taman sekolah, menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku yakin ada yang tak beres dengan semua ini. Benar-benar gila!
"Assalamualaikum." Aku menoleh ke arah samping. Ada sepasang kaki berada di sampingku. Saat kutengadahkan wajah, baru kuketahui siapa orang tersebut.
Tersadar saat pipi ini basah akan air mata, cepat-cepat kuhapus dan berusaha menahan agar tak keluar lagi. Lelaki itu tersenyum kala menatapku.
"Wa–waalaikumussalam," sahutku sembari membuang wajah ke arah lain.
"Hei, mengapa kau menangis seperti itu, Dira? Tidak biasanya." Lelaki itu–Kak Ikhyar–duduk di sebelahku dengan jarak yang cukup jauh.
Aku menghela napas dan berpikir keras sejenak. Apa aku harus menceritakan kejadian ini kepadanya? Siapa tau dia bisa bantu, 'kan?
Aku menoleh ke arahnya dan mulai menceritakan semua. Namun, tatapanku tetap terkontrol agar tak melakukan kontak mata langsung dengan dia.
"Soal Belia, ya? Hm, Aku juga merasakan hawa aneh. Dia seperti .... " Aku baru berani menengadah, menatap si empunya wajah untuk mengetahui apa opininya tentang wanita itu.
"Kalau saya boleh terawang, nampak ada sesuatu yang ganjil pada bagian wajahnya. Eh, tapi ... Astaghfirullah, saya tidak ingin memfitnah yang tidak-tidak." Kak Ikhyar nampak mengusap wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bisikan Mereka ✔
HorrorRevisi terbaru. "Dira ...." "Dira ...." "Pergi! Kau siapa?" Aku menutup telinga kuat-kuat sembari memekik dalam hati di tengah gelapnya ruangan kamarku. Aku hanya bisa bersembunyi di balik selimut dengan perasaan campur aduk. "Aku tahu kamu dapat m...