Part 22

43 4 0
                                    

"Aku kangen kamu, Tha."

Agatha memberanikan diri menatap Ari. Lelaki itu masih bersikap seperti dulu, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di hubungan mereka. Walaupun sebenarnya jauh di lubuk hati Agatha juga ingin melakukan hal yang sama. Banyak yang ingin ia tanyakan. Kapan Ari pulang? Bagaimana pengalaman nya selama satu tahun di sana? Dan kenapa dia mengkhianati Agatha?

"Gue harap lo gak lupa kalau kita udah bukan apa-apa."

"Emang kalau udah putus, gak boleh kangen?"

"Mungkin boleh, tapi nggak bagi yang udah ngeduain. Bukannya lo punya pacar? Ngapain di sini?"

"Jangan ngungkit itu, Tha. Aku ngerasa sakit kalau inget itu."

"Lo sakit? Gimana gue?"

"Tha, please. Kamu gak tau perasaan aku kaya gimana."

"Apa lo tau perasaan gue gimana? Apa lo tau sehancur apa gue dulu? Apa lo pernah mikirin itu semua? Nggak kan?"

Tanpa disadari ternyata Agatha mulai meneteskan air matanya. Ia benar-benar tidak habis pikir pada Ari. Setelah semua yang terjadi, Ari malah memikirkan perasaannya sendiri.

"Salah gue apa sama lo, Ar? Lo selingkuh, lo tinggalin gue, dan lo juga bikin gue down di sekolah. Kenapa lo jahat, Ar? KENAPA?!"

Agatha merasakan dirinya direngkuh ke dalam pelukan Ari. Agatha sempat meronta minta dilepaskan, namun Ari sama sekali tidak memberinya kesempatan. Hingga ia mulai lelah dan akhirnya mengalah, merasakan pelukan Ari, lagi. Pelukan yang masih sama, wangi yang sama, dan kehangatan yang sama.

"Aku minta maaf, Tha. Buat semua luka, air mata, dan kesalahan aku. Aku mohon, jangan simpen dendam itu di hati kamu."

Agatha sudah berhenti menangis. Perlahan ia melepaskan pelukan Ari.

"Gue gak pernah dendam sama lo. Gue juga gak mau nyusahin diri buat terus-terusan mikirin lo. Jadi gue udah maafin lo."

"Kalau gitu kita temenan lagi kan?"

Agatha diam sejenak, mempertimbangkan perkataan Ari. Jika ia mengiyakan, maka ia harus siap berinteraksi kembali dengan Ari. Namun jika tidak, maka Agatha terlihat belum berdamai dengan masa lalunya. Dan Agatha tidak mau hal itu terjadi.

Agatha yakin, ia tidak akan kembali jatuh pada Ari. Ia bukan Agatha yang dulu, berteman dengan Ari tidak akan berpengaruh apa-apa di hidupnya.

"Iya." Jawab Agatha singkat.

"Serius, Tha?"

Agatha mengangguk, "Seperti kata gue tadi, gue gak mau punya dendam. Mungkin dengan temenan sama lo bisa bikin gue bener-bener lupain semuanya dan anggap gak pernah ada apa-apa antara lo sama gue."

"Kamu emang baik, Tha. Sebagai ucapan terimakasih, gimana kalau aku anter kamu? Kayanya kamu lagi nunggu dijemput?"

"Gak usah, makasih. Gue udah janji sama temen gue."

"Andra? Mau ke mana?"

"Bukan. Ke sekolah."

"Kalau gitu sama aku aja. Kasian kan temen kamu kalau harus ke sini dulu. Apalagi masih gerimis kaya gini."

"Tapi gue udah janji sama dia. Paling bentar lagi juga dia dateng."

"Ayolah, Tha. Aku juga kan temen kamu, masa kamu gak percaya sama aku? Aku gak akan celakain kamu."

"Ya udah, oke."

Ari tersenyum senang. Ia bangkit dari kursi lalu duduk di motor merahnya, menyalakan mesin dan memakai helm. Agatha mengikuti dengan sedikit canggung. Tidak pernah terlintas di pikirannya bahwa ia akan menaiki motor ini lagi.

"Pegangan, Tha. Aku gak mau nanggung resiko."

Perlahan Agatha berpegangan pada Ari, walaupun hanya sebatas memegang jas yang Ari kenakan. Di luar dugaan, Ari menarik tangan Agatha hingga gadis itu memeluknya. Setelahnya baru ia menarik gas dan pergi dari tempat itu.

Dalam perjalanan, Ari terus mengajak Agatha berbicara. Hingga tanpa sadar Agatha kini sudah tidak seketus tadi. Dan Agatha merasa lebih nyaman sekarang. Bahkan jarak ke sekolah pun terasa sangat singkat bagi Agatha.

"Thanks, Ar. Lo jadi basah gara-gara nganterin gue." Ucap Agatha setelah turun dari motor Ari.

"Gak apa, cuma sedikit juga. Kalau gitu aku langsung pulang ya." Agatha hanya mengangguk. "Dah.." Tanpa ijin, Ari mencubit pipi Agatha. Barulah ia benar-benar pergi dari SMA Emerald.

Gerimis menjadi saksi, bahwa kata "maaf" memang tidak dapat menghapus masa lalu, namun "maaf" bisa memperbaiki masa kini, dan juga masa yang akan datang.

***

Agatha mengerjapkan matanya. Diliriknya jam di atas nakas, pukul setengah 6 sore. 1 jam sudah Agatha tertidur, padahal ia merasa baru menutup matanya beberapa menit. Rupanya kegiatannya hari ini cukup menguras tenaga, hingga saat pulang tadi ia langsung membersihkan tubuh dan terlelap tidur. Sehingga kini tubuhnya sudah segar kembali.

Merasa haus, Agatha beranjak dari tempat tidurnya dan pergi menuju dapur. Hingga matanya melihat seseorang yang sangat ia rindukan berada di depan televisi. Dengan sedikit berlari Agatha menghampiri sosok itu dan memeluknya.

"Papa! Aku kangen.."

Papa Agatha tersenyum melihat tingkah putri satu-satunya itu. Iya merasa bersalah karena sering meninggalkan putri nya untuk perjalanan bisnis.

"Papa juga kangen, Sayang. Papa ada oleh-oleh buat kamu. Nanti ambil di Mama ya."

"Siap, Captain."

"Sore, Om, Agatha.."

Suara seseorang yang baru saja tiba di ruangan itu mengalihkan perhatian Agatha dari Papanya.

"Sore, Andra."

Andra menghampiri Papa Agatha dan memberikan salam. Mengenal keluarga ini dari kecil membuat Andra menganggap mereka keluarganya sendiri.

"Apa kabar, Om? Baru pulang?" Tanya Andra ramah.

"Alhamdulillah, baik. Iya, sekitar jam 5 tadi. Kamu gimana? Mama Papa kamu juga?"

"Alhamdulillah baik juga, Om."

Papa Agatha mengangguk paham, "Oh iya, Agatha. Sabtu depan Papa dapet undangan dari temen Papa, nikahan anaknya. Kamu ikut ya. Andra juga, buat nemenin Agatha nanti. Kalau gitu Papa istirahat dulu."

Belum sempat Agatha dan Andra menjawab, Papa Agatha sudah pergi meninggalkan mereka. Dan hal itu tentu membuat Agatha tidak bisa membantah ataupun menolak.

"Anak temen Papa lo udah nikah, lo kapan? Oh iya, gue lupa. Lo kan jomblo." Sindir Andra pada Agatha dengan disusul tawa darinya.

"Gak apa. Gue jomblo juga bahagia,"

"Karena ada gue kan? Iya kan?"

"Peres lo kumat ya?"

"Kalau gitu, kita nikah yuk?"

Agatha mendelik, "Heh! Sekolah aja belum lulus, udah mikirin nikah."

"Berarti kalau udah lulus lo mau ya? Oke, tunggu aja nanti."

Tidak dapat dipungkiri bahwa Agatha senang mendengar perkataan Andra. Namun tentu saja Agatha terlalu gengsi untuk mengakuinya. "Makin peres aja ya lo. Pokoknya sabtu depan lo gak boleh lupa."

"Siap!"

***

Ajari Aku Cinta [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang