4. Desire

6.3K 839 301
                                    

Dulu sekali, perempuan yang sedang menyusun puzzle di ruang terapi itu pernah menjadi teduh dalam teriknya, pernah menjadi hangat dalam dinginnya, dan pernah menjadi tenang dalam lelahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dulu sekali, perempuan yang sedang menyusun puzzle di ruang terapi itu pernah menjadi teduh dalam teriknya, pernah menjadi hangat dalam dinginnya, dan pernah menjadi tenang dalam lelahnya. Namun kini, perempuan itu sangat jauh dari genggamannya. Walaupun Woozi tidak mengelak kalau masih ada kilasan kerinduan dari mata perempuan yang pernah menjadi miliknya itu.

Sudah dua menit lamanya Lee Woozi berdiri mematung di balik jendela yang tirainya terbuka setengah itu. Ia masih setia menatap perempuan berbaju biru yang kini tengah tertawa bersama seorang bocah dihadapannya. Ia berdeham, sadar menjadi pusat perhatian beberapa terapis yang saat itu berlalu-lalang melewati dirinya. Laki-laki itu mengetuk kaca tiga kali, tepatnya hingga perempuan bermarga Seo itu menoleh kearahnya.

Woozi menggerakkan jempolnya kebelakang, memberikan tanda kepada Hajin untuk datang ke ruang prakteknya sekarang juga. Setelah mendapatkan sebuah anggukan, Woozi pergi begitu saja dengan satu senyuman yang tertahan di bibirnya. Dengan langkah besarnya, ia kembali masuk pada ruangan yang hanya berjarak delapan meter dari ruang terapi yang dipenuhi alat-alat mirip mainan anak itu.

Tidak berselang lama, Seo Hajin tiba di ruang prakteknya dengan wajah yang agak masam. Woozi tahu ia telah mengganggu jam terapi siang perempuan itu. Namun ia memiliki alasan, dan apa yang akan dibicarakannya saat ini cukup penting untuk Hajin dengar.

"Ada apa? Laporan mana lagi yang kau minta?" Hajin menebak dengan asal. Masalahnya, Woozi selalu memanggil dirinya kedalam sini hanya karena alasan yang begitu sepele.

"Duduk dulu," Woozi menunjuk kursi didepan mejanya, mempersilahkan perempuan itu untuk duduk diatasnya. "Ada yang harus aku diskusikan dengan dirimu."

Hajin yang tadinya hendak mengumpat laki-laki itu jika seandainya Woozi meminta hal macam-macam urung melakukan niatnya. Ia menarik kursi putar didepan meja Woozi kemudian mendudukinya, "Soal apa? Pasien?" Tanyanya.

Woozi mengangukan kepalanya, "Benar, kita panggil saja dia A. Dia adalah korban tabrak lari, kedua kakinya diamputasi dan sekarang dia hanya bisa duduk diatas kursi roda. Si A mengalami penurunan kepercayaan diri, dia selalu marah dan kesal karena status cacatnya. Selain itu, dia mengalami self injury yang cukup serius."

Hajin mengerti, perubahan yang signifikan pada diri seseorang— apalagi menyangkut hilangnya anggota tubuh pasti menjadi tekanan tersendiri bagi siapapun. Perempuan itu menyimpan kedua tangannya yang silih bertautan diatas meja kerja Woozi, badannya agak condong ke depan. Seperti sudah menjadi kebiasaan setiap kali perempuan itu berpikir tentang sesuatu.

"Itu bukan masalah sepele. Penurunan kepercayaan diri, self injury ... " Ia bergumam, "Aku akan menanganinya, bawa dia kemari."

"Apa yang akan kau lakukan sebagai seorang terapis kepadanya?" Hajin berdecih, entah kenapa ia merasa seakan-akan sedang diuji oleh dosen seperti saat dirinya duduk di bangku kuliah dulu.

"Aku akan melakukan sesi konseling lebih dulu bersamanya. Kemudian, aku akan membangkitkan semangatnya lagi supaya dia bisa mendukung dirinya sendiri sebagai seorang penyandang disabilitas. Soal self injury-nya, aku akan meminta bantuan spesialis kejiwaan, tentunya bantuanmu juga." Kata Hajin, sebisa mungkin ia menjelaskannya tanpa satu pun kesalahan. Percaya atau tidak, selain hobi mengganggu pekerjaannya, Lee Woozi juga sangat senang mencari-cari kesalahan dalam dirinya.

F R O S T [JWW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang