[6] pantai

3.7K 290 13
                                    

/langit mendung siang hari itu, bekerja sama dengan ombak untuk meneduhkan hati yang terjebak dalam diam/

Hari ini memang bukan weekend, seharusnya. Tapi Fakhira mengaku pada Alan bahwa hari ini dia tak ada jadwal kuliah. Jadi, Alan mengajak Fakhira ke luar untuk sekadar menghabiskan waktu bersama. Hal yang telah lama tidak terjadi lagi di antara keduanya. Entah karena kesibukan atau faktor yang tak ada saling memberi kode untuk mengajak. Keduanya sama-sama diam. Hingga pada akhirnya hari ini mereka berdua keluar bersama.

Selama Fakhira bersiap untuk pergi, Alan menunggu sembari memainkan handphone dengan layar yang menyala. Dia memberitahu pihak rumah sakit untuk mengganti jadwal jaganya menjadi malam hari, karena pagi ini dia akan pergi bersama Fakhira. Takut-takut jika tak jadi lagi, Fakhira akan kembali memanyunkan bibirnya.

"Kak Alan yakin enggak ada kerjaan di rumah sakit?" tanya Fakhira ketika dia baru saja menapakkan kaki di ruang depan dengan pakaian yang sudah terganti.

Dress terusan berwarna merah muda lima centi di atas lutut dan tas kecil berwarna senada tersampir di pundak Fakhira. Parfume yang digunakannya pun begitu segar sampai Alan sempat memejamkan matanya sesaat. Penampilan Fakhira sangat berbeda dengan sebelumnya yang hanya mengenakan baju tidur dengan rambut panjang tergerai dan sedikit acak-acakan.

"Tadi aku udah kasih kabar ke pihak rumah sakit biar ganti jadwal aku jadi malam hari," jawab Alan sembari bangkit dari duduknya dan menghampiri Fakhira. "Udah siap jalan?"

Fakhira menganggukkan kepalanya dengan pasti. Saat Alan berjalan mendahuluinya keluar rumah, Fakhira mengekor dari belakang dan menutup pintu lalu dikuncinya.

Sedari dulu sampai saat ini, setiap Alan dan Fakhira jalan bersama, tak ada jari-jari yang saling bertautan dan mengayun di tengah-tengah mereka. Tak ada rangkulan pundak atau sekadar menggenggam tangan ketika menyebrang jalan. Alan lebih sering berjalan di depan Fakhira dan Fakhira selalu hafal dengan hal itu.

Membukakan pintu mobil untuk Fakhira memang bukan hal yang romantis lagi karena sering dilakukan, tapi kebiasaan itu selalu membuat Fakhira merasa beruntung. Meski sebenarnya, tindakan seperti itu adalah tindakan normal seorang pria jika akan pergi bersama gadis. Entah itu gadis special atau bukan.

"Ke mana dulu?" tanya Alan sembari membenarkan letak sabuk pengamannya.

"Gimana kalau kita nonton? Atau pergi ke taman buat beli ice cream di sana? Atau ... ke pantai? Wuah, banyak banget deh yang pengen aku jumpai."

"Pilih salah satu aja, gimana?" Alan menolehkan pandangannya ke arah Fakhira dengan tatapan rasa tak enaknya. "Jam lima aku harus udah ada di rumah sakit."

"Oh, okey." Fakhira menempatkan jari telunjuk tangan kanannya di dahi, mencari keputusan yang paling tepat. "Aku lagi nggak ada film yang pengen ditonton sih, mau ke pantai tapi bentar lagi siang. Pasti panas. Taman juga kalau jam segini ramai, pasti nggak akan nyaman kalau terlalu ramai di sananya."

"Jadi?" tanya Alan, mencari keputusan.

"Apa lebih baik nggak usah jalan aja?" Fakhira menolehkan pandangannya pada Alan. Memberi sebuah pengertian.

"Kamu marah, ya?"

Fakhira menggelengkan kepalanya. Dia terlalu tahu diri untuk marah tanpa alasan seperti ini. Fakhira hanya merasa tak enak saja jika waktu istirahat Alan dihabiskan hanya untuk menemaninya yang tak penting sama sekali. Rasanya, Fakhira seperti tengah memaksa dokter di sampingnya ini.

"Ya udah jalan aja, Kak, kendalikan mobil Kakak sesuai keinginan Kakak maunya ke mana."

Jika kalimat itu telah terlontar, Alan tak bisa berkata lebih banyak lagi. Dengan cepat dia menyalakan mesin mobil dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang untuk membelah jalanan ibu kota yang terlihat sudah lumayan lengang.

Komunikator (Completed) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang