/jika aku memikirkan, maka kejadian akan kembali terulang meski hanya dalam ingatan/
✓
"Nggak mungkin! Ibu nggak mungkin meninggal!" Fakhira mendorong keras dada bidang terbalut jas rapi milik Alan yang tadi sempat mendekap erat tubuhnya. "Tolong jelaskan sama aku kalau ibu baik-baik aja!"
Alan membuka mulut tanpa tahu harus berkata apa. Bibirnya tiba-tiba kelu ketika kembali melihat Fakhira terbakar emosi akibat hal yang baru saja membuatnya kehilangan arah.
"Kak! Kenapa diem aja?" tanya Fakhira dengan suaranya yang semakin meninggi. "Tolongin ibu, Kak, ibu lagi butuh bantuannya Kakak. Selamatkan ibu, aku mohon."
"Kira ...." Alan memberikan tatapannya yang semakin melembut. "Ayo ikut aku!"
Alan berniat untuk menggapai tangan Fakhira dan membawanya pergi dari rumah sakit. Tapi dengan keras Fakhira menolak dan melangkahkan kakinya untuk menjauh.
Fakhira tak lagi memikirkan tentang high heels-nya yang kini telah terjatuh di lantai bersama dengan tas kecil miliknya. Dia hanya bisa menangis dan tak bisa menerima keadaan yang telah membawa kebahagiaannya. Dengan berjalan ke arah pintu ruang operasi, kedua kakinya terasa sangat berat.
Namun, belum juga berada tepat di depan pintu, pintu ruang operasi terbuka lebih dulu dari dalam. Memperlihatkan sebuah blankar dengan kain putih yang menutupi seseorang yang tengah terbaring di atasnya. Mata Fakhira semakin berair dan terisak. Kedua tangannya bahkan tak bisa berhenti menutupi mulutnya yang takut berteriak sewaktu-waktu.
"Ibu ...," lirih Fakhira tanpa bisa melangkah lebih dekat ke arah blankar itu. "Go! Please go!" teriak Fakhira pada beberapa suster yang berdiri di samping blankar itu.
Fakhira tak bisa lagi menahan teriakannya. Emosinya telah berada di ujung lidah dan tak dapat lagi tertahan.
Melihat keadaan seperti itu, Alan dengan segera menghampiri keberadaan Fakhira dan mencoba untuk menenangkannya.
"Jangan bawa ibu pergi! Aku mohon ...." Fakhira memberikan tatapan penuh memohonnya pada suster yang kini memandang keberadaannya dengan penuh iba.
"Kira ...." Alan mengusap lembut pundak Fakhira.
"Kak! Tolong bantu aku bicara sama mereka untuk jangan bawa ibu pergi dari aku!"
"Kalian bisa tinggalkan kita dulu sebentar." Dengan suaranya yang tetap tenang, Alan memerintahkan para suster yang bertugas untuk memindahkan jenazah Angela.
"Tapi Lan, ibu Angela ...."
"Kalian boleh pergi!"
Tanpa harus berdebat, para suster itu meninggalkan Alan dan juga Fakhira.
Meski sebenarnya, kepergian para suster itu tak mengurangi kesedihan dalam diri Fakhira. Dirinya kini berdiri di samping blankar dengan suara isakannya yang berusaha ditahan. Berusaha menyembunyikan kesedihan yang begitu menyiksa dirinya. Hingga kedua tangan Fakhira terulur pada ujung kain yang menutupi tubuh ibunya dan perlahan menarik turun kain itu. Menampilkan wajah ibunya yang terlihat pucat dan tak berdaya.
"Ibu!!!"
Fakhira menetralkan deru napasnya yang terasa tidak beraturan. Kedua matanya membelalak sembari menyeka keringat yang mengucur di keningnya. Terbangun dari mimpi buruk setelah mendapatkan obat tidur dari dokter beberapa jam yang lalu.
Masih dengan deru napasnya yang terdengar kejar-kejaran, Fakhira menolehkan pandangan pada jam dinding di kamarnya. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam dan Fakhira terbangun tanpa bisa tertidur kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komunikator (Completed) ✓
RomanceSeri #1 Komunikasi A New Story by Kazzalisa ©2018 "Maintain good communication, why not?" Hati adalah penentu untuk sebuah rasa yang tak bisa dielakkan. Ketika hati mencinta, masa lalu entah mengapa selalu ikut andil di dalamnya. Tak akan pernah tah...