[43] akhir yang hilang

5.6K 193 8
                                    

/berat rasanya untuk pergi, tapi sakit untuk tinggal. sampai pada akhirnya, air mata pun tak dapat membantu untuk menutup luka. yang ada, langkah kepergian yang menjadi akhir dari segalanya/

✓✓✓

Setelah mengajukan syarat--yang lebih terdengar seperti keinginan menghindar--itu pada Pramudya, Fakhira berusaha berjalan mendekat pada ayahnya untuk memohon. Meski sebenarnya, bisa saja dia pergi tanpa harus meminta persetujuan. Tapi kembali lagi pada keputusan Fakhira yang ingin berusaha untuk lebih dewasa dalam bersikap.

Baginya, sudah cukup dalam beberapa tahun ke belakang dia melakukan apa pun tanpa sepengetahuan ayahnya. Maksudnya, tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu. Dan kini saat dia bisa bertemu ayahnya, sudah sepantasnya dia melakukan hal tersebut. Memberitahukan hal kecil maupun besar tentang hidupnya.

Awalnya Pramudya menolak permintaan Fakhira atas banyak alasan yang mengatasnamakan rasa bersalah. Namun, kembali Fakhira mengucapkan, "Kalau Ayah sayang aku, maka biarkan aku pergi untuk menenangkan diri, Yah." Dan dalam bujukan itu, tak banyak hal yang dapat Pramudya lakukan selain mengajukan syarat kembali untuk kepergian Fakhira.

"Syarat apa, Yah?" tanya Fakhira saat Pramudya berkata untuk mengajukan syarat balik untuknya.

"Kalau kamu mau pergi, kamu harus melanjutkan sekolah. Lanjut S2 kamu, Kira. Ayah akan mengurusnya untuk kamu."

Inginnya, Fakhira menolak syarat tersebut. Namun, Pramudya tetap bersikeras untuk syarat itu. Dan dengan begitu, Fakhira pun menyetujuinya.

Di keesokan harinya, Fakhira segera mengurus semuanya tanpa sepengetahuan Alan. Fakhira juga telah meminta ayah dan istri barunya itu untuk tidak memberitahu Alan tentang rencana kepergiannya. Karena jika dokter itu tahu, akan jauh lebih berat untuk Fakhira mempersiapkannya.

Ketika mendapat persetujuan dari Pramudya untuk pergi dengan syarat harus melanjutkan S2, Fakhira pun berpikir bahwa akan jauh lebih baik untuk dia pergi ke luar negeri. Dan saat itu juga, dia teringat akan Rafael yang ditemuinya di rumah Lisa. Hari itu juga Fakhira pergi. Meminta saran dari tantenya.

Setelah menjelaskan niat dengan penolakan awal yang Lisa berikan, akhirnya tetap saja Fakhira memutuskan untuk pergi.

"Kamu datang ke orang yang tepat. Rafael ini kan kerja di New York, jadi kayaknya nggak masalah banget kalau kamu ikut dia ke sana. Kebetulan, jadwal kepulangan Rafael itu tinggal tiga hari lagi. Iya 'kan, Ael?" usul Rafi saat kedatangan Fakhira untuk meminta saran atas niat kepergiannya. Tentu saja tanpa mengucapkan alasan yang sebenarnya pada mereka karena Fakhira tak ingin lebih banyak orang tahu. Setidaknya untuk saat ini.

Rafael pun terlihat tidak keberatan dengan usul sepupunya itu. Terlihat dari caranya tersenyum, menandakan bahwa dia memiliki pembawaan yang santai dan mudah berbaur.

Dalam tiga hari itu pun, Fakhira menyiapkan segala sesuatunya untuk pergi. Termasuk menyiapkan mental dan juga hati untuk meninggalkan semua luka yang tak ingin dia bawa ke luar negeri nantinya.

"Lo beneran mau pergi, Fak?" tanya Widia dengan suaranya yang terdengar bergetar saat kembali memperhatikan Fakhira dengan pakaian rapinya.

"Gue nggak papa," jawab Fakhira dengan senyum selebar mungkin dia tujukan pada Widia yang tengah berdiri di samping kekasihnya, Bastian.

Entah kebetulan dari mana, tapi selama persiapan kepergian Fakhira memang Widia tak tahu apa-apa karena sibuk menyiapkan jadwal bertemu dengan Bastian yang baru saja pulang dari negara kelahirannya. Dengan begitu, Widia pun baru mengetahui kepergian sahabatnya itu tadi malam. Saat Lisa mengajaknya untuk pergi ke bandara bersama-sama mengantar Fakhira.

Komunikator (Completed) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang