[8] hari baik

2.8K 228 3
                                    

/ketika keyakinan tak lagi tergoyahkan, apa yang diharapkan datang dengan kemenangan/

Pembahasan tempo hari lalu bersama Widia membuat pikiran Fakhira lebih baik dibanding sebelumnya. Setidaknya, dia tak perlu ragu untuk kembali melihat senyum mematikan Alan setiap mereka berdua bertemu. Juga tak perlu merasa khawatir jika nanti Alan akan kembali Fakhira repotkan. Karena dia sadar, dia tak bisa menahan dirinya untuk membohongi keadaan bahwa dirinya tak siap sama sekali untuk kehilangan lagi.

Kehilangan bukan suatu hal yang biasa terjadi pada setiap diri manusia. Kehilangan adalah titik di mana takdir mengambil hal terbaik dari diri manusia. Walaupun waktu sebenarnya telah menjanjikan, bahwa Tuhan pasti akan kembali memberikan hal yang jauh lebih baik. Fakhira tak beranggapan Alan lebih baik daripada kehadiran ibunya, tapi setidaknya Alan mampu membuat hidup Fakhira sedikit tenang dengan keadaan.

Pagi hari ini, pagi yang sangat indah disambut senyuman lebar oleh Fakhira. Melihat hanya ada beberapa lembar roti tawar dan juga tiga toples selai di atas meja makan. Dengan senyum selebar mungkin, Fakhira menatap Lisa dan kemudian terduduk di atas kursi. Menerima apa yang saat ini Lisa sajikan meski dia tak suka.

"Sebenarnya tadi mau masak, tapi pas liat jam ternyata udah siang, jadinya cuma bisa siapin roti," jelas Lisa ketika dia sangat menyadari bahwa Fakhira tak suka. Meski tak ditunjukkan secara langsung, tapi Lisa terlalu jelas melihat ketidaksukaannya itu.

Fakhira tersenyum lebar dengan kepala yang sedikit memiring. "Nggak papa, aku maklum kok."

Lisa mengerutkan dahi memandang ke arah ponakannya itu. Dilihat dari seberapa lebar senyumnya pagi ini, pasti ada suatu hal yang telah terjadi dan membuatnya bahagia.

"Kemaren abis ketemu Widia, ya? Pasti abis minta pencerahan," tebak Lisa dengan kedua tangan yang masih sibuk berkutat dengan roti dan selainya.

"Tante pinter banget deh," ucap Fakhira sembari mencolek dagu Lisa dan mengambil dua lembar roti di atas meja.

Beberapa lembar roti tawar menemani sarapan mereka. Fakhira terduduk dan mengolesi lembar roti itu dengan selai cokelat kesukaannya. Sedangkan Lisa tetap berdiri di depan meja dengan menyibukkan diri mengolesi beberapa lembar roti.

"Banyak banget rotinya, buat siapa? Aku udah ngoles sendiri loh," ujar Fakhira sembari memperlihatkan dua lembar roti yang ditumpuk dan telah terolesi selai cokelat di dalamnya.

"Ya emang bukan buat kamu," jawab Lisa masih menunduk, mengolesi lembar-lembar roti dengan selai strawberry.

Fakhira mengangkat kedua alisnya tinggi sembari mengedikkan kedua bahunya. "Buat pak Rafi? Mau suruh aku lagi?" Fakhira menggigit ujung roti itu dan mengunyahnya. Kembali bersuara meski roti di dalam mulutnya belum tertelan sepenuhnya. "Akhu enghak mahu."

Lisa menutup toples selai dan menaruh pisaunya di atas piring. Berjalan ke arah pantri dan mengambil tepak berwarna bening yang sudah disiapkannya. Sekitar tiga lembar roti yang telah diolesi selai dimasukkan ke dalam tepak dan ditutupnya rapat.

Karena pertanyaannya tak kunjung direspons Lisa, Fakhira terus memerhatikan pergerakan Lisa. Tantenya itu terlihat tersenyum memandangi tepak yang kini di genggamannya. Membuat Fakhira menautkan kedua alisnya sembari ikut tersenyum juga. Sepertinya hari ini memang hari yang baik. Semua manusia yang berada di rumah ini terlihat bahagia. Fakhira suka itu.

"Kamu tenang aja, Fak." Lisa mengalihkan pandangannya pada Fakhira yang masih asyik mengunyah roti sembari memandanginya. "Aku udah bisa anterin ini sendiri. Jadi, nggak perlu lagi deh komunikator-komunikatoran kayak dulu. Karena dipikir-pikir, benar juga kata kamu, berinteraksi langsung itu jauh lebih baik dari apa pun."

Komunikator (Completed) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang