/jika janji hanya bisa menyakiti, lebih baik terdiam agar harapan tak kembali menghantui/
✓
Jika kemarin Alan gagal menemui Fakhira di rumahnya, saat ini dia tak ingin gagal lagi. Dengan datang pagi-pagi sebelum jam tujuh, Alan berharap agar Lisa dapat mengizinkannya mengecek keadaan Fakhira. Meski dia tahu, Fakhira sendiri tak akan menyukai kehadirannya.
Namun, rasa bersalah selalu menghantui Alan setiap saat. Hingga akhirnya semalaman dirinya tak bisa tidur dengan tenang.
"Aku mohon, Tante ...." Alan berdiri di depan pintu rumah Fakhira yang baru saja dibuka Lisa.
"Masuk aja, aku juga bingung harus dengan cara gimana lagi buat buka pintu kamarnya Fakhira."
"Apa Fakhira belum makan sampai sekarang?" tanya Alan. Tentu saja dengan raut wajah khawatirnya.
"Ya," jawab Lisa dengan lemas. "Bahkan aku belum dengar suaranya sampai sekarang. Aku nggak tahu dia tidur atau apa. Mau aku buka pintunya pun terkunci dan nggak ada kunci cadangannya."
Alan mencoba tenang dengan membasahi bibirnya. Tangan kanannya yang menenteng tas berisi stetoskop, jarum suntik, dan beberapa obat pun sengaja dibawa untuk Fakhira yang mungkin saja sedang sakit saat ini. Karena Alan mencoba menghubungi Fakhira pun, handphone-nya bahkan tak aktif sampai saat ini.
"Ada yang bisa aku bantu?" Sebuah suara dari balik punggung Alan membuat Lisa dengan tiba-tiba mengembangkan senyumnya dengan lebar.
Lisa dengan pakaian kerjanya yang sudah rapi segera menghampiri pria yang berdiri di belakang Alan. Membuat Alan membalikkan tubuhnya.
"Tadinya aku mau minta bantuan, tapi berhubung sudah ada Alan, lebih baik kita langsung berangkat aja."
Rafi, pria yang kini berdiri di samping Lisa terlihat menyunggingkan senyumnya ketika Lisa terlihat bahagia karena kehadirannya. Meski terbilang baru bertemu beberapa kali sejak rencana Fakhira berhasil, tapi keduanya mempunyai cerita tersendiri.
"Jadi, aku boleh langsung masuk sekarang aja nggak, Tante?" tanya Alan.
"Iya, masuk aja. Kebetulan aku sama Rafi mau beli sarapan dulu, nanti kita ke sini lagi buat anterin sarapan. Kamu pasti belum makan, 'kan? Fakhira juga belum makan dari malam. Siapa tahu aja kalau kamu yang nyuruh makan, dia jadi mau."
"Iya, Tante," jawab Alan dengan singkat dan langsung berbalik. Berjalan dengan cepat untuk segera menghampiri kamar Fakhira.
Karena terlalu sering masuk ke dalam rumah ini, Alan hampir hafal dengan setiap sudut ruangannya. Termasuk letak kamar Fakhira yang berada di lantai atas.
Ketika melihat pintu kamar yang menjadi tujuannya tertutup rapat, tangan kiri Alan langsung terulur pada knop pintu dan mencoba untuk membukanya. Tapi pintu memang terkunci dari dalam.
"Fakhira!" seru Alan sembari mengetuk pintunya. "Fakhira, kamu bisa buka pintunya sebentar?"
Meski Alan berbicara dengan nada suaranya yang meninggi, tapi tak kunjung ada jawaban. Hingga dia berpikir bahwa Fakhira tengah tertidur atau sengaja tak ingin membuka pintu untuknya.
"Aku cuma mau meriksa keadaan kamu, tolong buka pintunya, Fakhira. Aku mohon ...." Alan menempelkan tangan kirinya pada pintu kamar. "Kalau kamu nggak mau ketemu aku, oke nggak papa. Tapi aku datang ke sini cuma sebagai dokter yang ingin periksa keadaan kamu, Kira. Aku takut kamu kenapa-napa."
Rasa bersalah dalam diri Alan semakin merambat ke mana-mana. Menduga-duga apa yang terjadi di dalam kamar itu hanya membuat dirinya semakin merasa bersalah karena tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk itu, Alan menjatuhkan tasnya. Mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu dengan tenaganya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komunikator (Completed) ✓
RomanceSeri #1 Komunikasi A New Story by Kazzalisa ©2018 "Maintain good communication, why not?" Hati adalah penentu untuk sebuah rasa yang tak bisa dielakkan. Ketika hati mencinta, masa lalu entah mengapa selalu ikut andil di dalamnya. Tak akan pernah tah...