[25] melihat tanpa menyapa

1.4K 103 0
                                    

/kerap kali merasa iri, tapi tak dapat membela diri/

Satu hari setelah kepulangannya dengan Alan dari Bandung, senyum lebar di kedua belah bibir Fakhira hampir tidak pernah pudar di setiap keadaan. Saat ini pun, saat biasanya dia akan memandang jenuh pada dosen yang tengah menjelaskan ini dan itu tentang mata kuliahnya, kini Fakhira memerhatikan serius dengan raut wajah bahagia yang tak seperti biasanya. Rasanya ketika bahagia, menjalani hidup terasa lebih mudah.

Mata kuliah yang sebenarnya dia perhatikan di dalam kelas berjam-jam pun rasanya sangat tidak terasa. Sehingga ketika pelajarannya usai, Fakhira tak merasa ada beban dalam hidupnya. Rasanya sangat mudah menjalani hidup jika saja setiap hari dia terus merasakan bahagia seperti saat ini.

Tepat ketika mata kuliah Fakhira berakhir, dia menunggu Widia yang masih berada di dalam kelasnya. Karena tadi malam mereka merencanakan untuk pulang bersama, jadi Fakhira harus menunggu Widia.

Berselang sekitar lima belas menit dari waktu Fakhira menunggu, kelas Widia akhirnya bubar dan Widia keluar dari kelasnya.

"Udah nunggu lama, Fak?" tanya Widia dan langsung menghampiri Fakhira yang menunggu di depan kelasnya.

"Ya, lumayan. Demi dapet tumpangan gratis, gue sih rela nunggu lama juga," jawab Fakhira.

"Sorry deh, tadi ada kuis mendadak soalnya."

"Iya nggak papa, gue nggak akan marah, kecuali kalau lo tetep di sini dan nggak ngajak gue buat segera ke parkiran dan berangkat nyari makan. Gue laper, Wid!" seru Fakhira sembari melipat kedua tangan dan menunjukkan​ raut wajah kesalnya.

"Yaellah tetep ae nggak berubah lo!" Widia merangkul pundak Fakhira dan membawanya segera ke parkiran.

Sejak lulus SMA, Widia memang telah diajari mengendarai mobil oleh kedua orangtuanya, sehingga dia lebih sering membawa mobil pribadi dibandingkan memesan taksi atau diantar-jemput.

Perjalanan dari kampus menuju rumah makan yang sering mereka kunjungi memang tidak terlalu jauh, sehingga tidak memakan waktu cukup lama untuk sampai di tempat tujuan. Setelah memarkirkan mobil dan memilih meja untuk makan di luar ruangan, seorang waiters menghampiri mereka berdua untuk mencatat pesanannya.

"BTW, Fak! Gimana liburannya di Bandung? Lo parah sih, liburan nggak ngajak-ngajak," keluh Lisa sembari menopang dagu di atas meja dengan telapak tangan kanannya.

"Gue nggak ada niat buat liburan sih sebenernya, cuman nau nenangin diri aja waktu itu," ujar Fakhira sembari menumpukan kedua tangan di atas meja dan mengetuk-ngetukkan jari di sana.

"Nenangin diri? Emangnya lo kenapa? Gila?" Widia sedikit tertawa sembari menggelengkan kepalanya.

"Ya kagaklah! Dasar lo!" Fakhira memanyunkan bibirnya dan menoyor pelan kepala Widia.

"Terus kenapa? Stres?" Widia kembali bertanya sembari menangkis tangan Fakhira yang berada di atas keningnya.

"Bukan!" bantah Fakhira dengan sedikit berdecak kesal.

"Terus?" Kini Widia menyandarkan punggung ke belakang dan memandang heran pada Fakhira.

"Saru hari sebelum gue berangkat ke Bandung, gue kan pergi ke rumah sakit, itu kejadiannya satu hari setelah lo dateng ke rumah dan bantuin gue bikin bolu pisang buat kak Alan. Nah, waktu kunjungan gue ke rumah sakit, itu masalahnya," jelas Fakhira tanpa minat sedikit pun untuk membahasnya kembali.

"Kebiasaan. Kapan sih lo mau bersikap dewasa, Fak? Pasti lo di sana ribut lagi sama staff rumah sakit, 'kan?"

Karena terlalu biasa bersama Fakhira, Widia begitu hapal dengan sifat sahabat dekatnya yang satu ini. Bahkan, pernah beberapa kali dia mengantar Fakhira ke rumah sakit dan menyaksikan secara langsung bagaimana Fakhira selalu terlihat emosi ketika meminta​ bertemu dengan ayahnya itu.

Komunikator (Completed) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang