[4] kecewa--lagi

4.8K 367 16
                                    

/meski sakit sekecil apa pun itu, jika rasanya pahit, tetap saja terasa kalau tak ada pemanisnya/

"Kata gue juga apa? Nggak usah!"

Setelah Fakhira dan Widia sama-sama ke rumah sakit untuk menemui Alan, keduanya dilanda rasa kecewa karena tak bisa menemui pria itu. Setelah tepat datang di sana dan menanyakan keberadaan Alan kepada salah satu suster, dia memberitahu bahwa Alan tengah sibuk di ruang operasi.

Mungkin kesibukan yang saat ini Alan dapatkan tak bisa memberi celah sedikit pun untuknya menemui Fakhira. Bahkan di waktu makan siang tadi pun, Alan masih berada di ruang operasi untuk menyelematkan pasiennya yang kini tengah membutuhkan jasanya. Fakhira tak menyalahkan kesibukan itu, dia bahkan sangat mengerti dengan keadaan.

"Gue cuma nggak mau aja hubungan lo sama kak Alan renggang, gue nggak salah, 'kan?" Widia mencoba membela dirinya di depan Fakhira.

Kini, mereka berdua tengah melepas penat akibat cuaca panas di luar sana. Duduk santai saling berhadapan dengan dua minuman dingin di atas meja.

"Wid, tolong sadarkan gue dan jangan buat gue berharap terlalu banyak."

Fakhira memejamkan kedua matanya sesaat. Menikmati kesunyian dalam gelap yang selalu dia dapatkan ketika melakukan hal tersebut. Kata hubungan yang Widia maksud tak bisa membuat hatinya tenang. Sungguh, semua tak baik-baik saja jika dia harus membahas sesuatu yang menyinggung tentang sebuah hubungan antaranya dan Alan.

"Kak Alan suka 'kan sama lo?"

Fakhira menggeleng lelah. Widia selalu saja menanyakan hal yang dia saja tak tahu apa jawabannya. "Apa jaminannya untuk gue jawab iya? Gue aja nggak tahu, Wid."

"Setidaknya, dengan cara dia membuktikan bentuk rasa tanggung jawabnya sama lo, itu udah cukup, 'kan?"

"Gue selalu merasa nggak cukup untuk beberapa hal. Termasuk soal yang lo bilang tadi."

"Kalau lo nggak bisa memastikan perasaan kak Alan sama lo, tapi lo bisa memastikan perasaan lo sendiri, 'kan?" Widia mencoba menemukan titik terang atas pertanyaannya. Dia memiringkan kepala dan menatap penuh tanya pada Fakhira.

"Iya, gue suka sama kak Alan."

"Trus kenapa lo diem aja?"

"Wid, ini nggak semudah yang lo kira. Semuanya berbeda." Fakhira mengalihkan pandangannya ke arah lain, berharap menemukan ketenangan agar bibirnya tak salah bicara.

"Apa yang membuat semua itu berbeda? Lo sendiri, 'kan?"

Dengan cepat Fakhira kembali mengalihkan pandangan matanya pada Widia. Menatap keberadaan sahabat dekatnya dengan penuh heran.

"Maksudnya?"

"Kalian berdua bisa menjalani hubungan seperti pasangan pada umumnya. Tapi semua itu nggak terjadi karena ada yang salah. Entah itu lo atau kak Alan. Keduanya bahkan nggak ada yang berusaha buat menyatukan. Jadi, gimana mau menjalin hubungan?"

"Wid, pembahasan lo terlalu serius. Kak Alan aja belum tentu suka sama gue, jadi buat apa gue pusing-pusing mikirin soal hubungan? Sia-sia aja tahu nggak?"

"Semuanya akan sia-sia kalau lo nggak berusaha. Ngerti, 'kan?"

"Lo nggak ngerti, Wid. Meski kejadian yang membuat gue luka sudah terlewat hampir satu tahun yang lalu, tapi rasanya ... semua masih ikut campur sampai sekarang. Gue nggak tahu kenapa."

"Itu semua terjadi cuma karena lo terlalu memikirkannya. Lo tahu nggak sih, Fak? Kejadian dulu itu, sama sekali bukan kesalahan dia. Semuanya terjadi atas kehendak Tuhan. Apa lo masih nggak mau menerima keadaan dengan cara seperti ini?"

Komunikator (Completed) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang