/maaf tak lagi dapat menenangkan. apalagi sampai mengubah keadaan/
✓✓✓
Alan tahu, memang sudah seharusnya untuk dia terus merasa bersalah di setiap detik jantungnya masih dapat berdetak dengan normal. Bahkan dia pun tahu, bahwa setiap satu kedipan pada matanya kini telah menjadi luka yang dapat membesar kapan saja.
Namun, kejadian di apartemen saat Fakhira terlihat dengan sengaja tidak menghindar darinya sungguh membuat Alan mengembuskan napas lega untuk beberapa saat. Niatnya, malam ini pun dia akan kembali berkunjung sebagai seorang dokter. Sayangnya, Alan harus mengurungkan niat tersebut karena seseorang memintanya untuk pulang. Yang jelas, permintaan itu menimbulkan rasa enggan yang sangat kentara bagi Alan tersendiri.
"Iya, Pah," jawab Alan dengan suara kecilnya saat dia dihadapkan dalam posisi tak dapat menolak apa yang diinginkan suami dari mamahnya. Ayah Fakhira. Pak Pramudya. Mereka orang yang sama.
Setelah mengutarakan semua pesannya pada Alan, bapak tua dengan setelan jas rapi berwarna biru itu menepuk-nepuk pundak Alan sebagai tanda terima kasih. Suatu hal yang biasa dilakukan setiap kali telah menitipkan pesan untuk anak gadisnya.
Mendapati tepukan di pundak kirinya, sungguh membuat Alan menarik napasnya dengan kasar. Segera dia bulatkan tekad dan mengangkat wajah. Berbalik. Mendapati Pramudya yang sedang menaiki anak tangga satu per satu.
"Tunggu, Pah ...."
Perkataan Alan yang sedikit melenceng dari nada sopan itu membuat Pramudya--ayah Fakhira--menghentikan langkah di atas anak tangga kelima dari bawah.
"Kenapa masih saja harus aku?" tanya Alan, seakan bertanya pada dirinya sendiri. Melihat Pramudya masih berdiri memunggunginya, menjadi kesempatan emas untuknya leluasa berbicara.
Pramudya memiringkan gerak tubuhnya dengan tangan kiri yang berada di pembatas tangga. "Dengar," kata Pramudya yang terdengar berdehem beberapa kali sebelum melanjutkan ucapannya. "Apa kamu keberatan?"
Lagi-lagi, Alan menundukkan kepala seperti biasa saat dia mendengarkan pesan-pesan dari ayahnya Fakhira. Setelah itu, entah mengapa dia tak dapat menolak semuanya hanya karena terlalu takut jikalau mamahnya akan kecewa karena dirinya telah gagal menjadi anak tiri dari Pramudya.
"Bukankah seharusnya kita sudahi semua ini?" tanya Alan masih dalam keadaan kepala menunduk. Gerakan mulutnya yang tak beraturan sangat membuatnya sulit untuk memilih kata selanjutnya. "Lagi pula, Fakhira sudah tahu semuanya. Jadi, bukankah akan jauh lebih baik jika kita sudahi saja semuanya?"
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Alan mendengar Pramudya terbatuk tiga kali sebelum kembali bersuara. "Urusi saja dulu urusan kalian. Jika sudah selesai, maka nanti papah yang akan bertindak selanjutnya."
Mendengar itu, Alan mengernyit dan memastikan bahwa pendengarannya tidak salah tangkap perihal apa yang Pramudya katakan tadi. Kalian? Dalam satu kata, beberapa kemungkinan dari yang paling baik dan buruk mulai menggelayuti pemikiran Alan saat itu.
"Karena bagaimanapun, kita keluarga."
Kalimat penutup dari Pramudya sebelum kembali mengambil langkah ke anak tangga selanjutnya, benar-benar membuat Alan kembali memikirkan beberapa kemungkinan. Yang jelas, kemungkinan awal dan tadi terasa seperti sebuah serpihan yang dapat dia satukan bagiannya.
Malam itu juga, Alan kembali menuruti perintah ayah Fakhira seperti biasanya. Dengan begitu, dia akan bertemu Fakhira tidak lebih dari sepuluh jam lagi karena jadwal pertemuannya pagi hari. Itu pun jika Fakhira menyetujui.
|||
"Aku pikir kamu nggak akan datang," ucap Alan ketika dia menghentikan langkahnya sekitar dua meter dari gadis yang tengah memunggunginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komunikator (Completed) ✓
RomanceSeri #1 Komunikasi A New Story by Kazzalisa ©2018 "Maintain good communication, why not?" Hati adalah penentu untuk sebuah rasa yang tak bisa dielakkan. Ketika hati mencinta, masa lalu entah mengapa selalu ikut andil di dalamnya. Tak akan pernah tah...